Minggu, 25 Juli 2010

Cinta Di Ujung Penantian

Sang mentari sudah mulai bergerak tenggelam di ujung ufuk timur, ketika aku masih sadarkan diri untuk memandangi lautan lepas dihadapanku yang ujungnya tak pernah ku tahu dimana. Kedua bola matakupun tidak pernah bisa melihat lebih jauh sampai dimana batas ujung dunia itu sebenarnya. Begitupun dengan pikiran dan perasaanku selama ini, dengan sabar menanti seorang pujaan hati yang dulu sempat melabuhkan cintanya dihati dan kehidupanku.
Tempat tinggalku memang tidak jauh dari tepian laut ini, dan sudah menjadi bagian dari keseharianku untuk selalu melihat mentari di waktu senja hari turun tenggelam secara perlahan meninggalkan siang dan segera memunculkan malam yang penuh dengan cahaya bulan dan bertaburnya gemerlap bintang. Itulah, yang kusuka dari salah satu kebesaran Allah yang maha kuasa diatas bumi ini dapat mengatur waktu dengan sempurna tanpa pernah tertukar satu dengan lainnya.
Kenangan kisah ini, sebenarnya ingin ku kubur dalam-dalam dari dasar hatiku untuk selama-lamanya bersama dengan gambar dirinya yang selalu kubawa kemana-mana dalam buku harianku dimana tertulis pula dalam sehelai foto bernama lengkap Setia Arjuna yang menjadikanku selalu teringat akan dirinya dan perjalanan kisah kasih kami setahun yang lalu. Sebelumnya, memang telah ku ramalkan suatu hari akan terjadi perpisahan antara aku dan dia, walau menurutnya hubungan kita tak kan pernah terpisahkan oleh jarak dan waktu sampai kapanpun dan ia berjanji akan kembali bersama pinangan untuk menjalin ikatan tali pernikahan denganku.
Sadar ataupun tidak, perpisahan itu bakal terjadi dan diantara kami hanya dapat saling mendo’akan ketika tahu bahwa ia adalah seorang wartawan yang akan dikirim untuk bertugas ke kancah peperangan bersama belasan wartawan lainnya. Sementara, orang tuaku yang mengetahui hubungan kami, selama ini merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan hatiku. Namun, mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Kini, kumengerti dan pahami betapa beratnya tugas sebagai seorang jurnalis harus meliput dan mengabadikan setiap peristiwa dimanapun berada agar dapat dijadikan sebuah berita penting bagi dunia dan tak terbayangkan bila terjadi sesuatu disana dan saat kembali ia yang kuharapkan mungkin hanya tinggal nama saja. Tapi, semua kekhawatiran itu, ku tepis jauh-jauh dengan doa’a sepanjang malam dalam shalat tahajudku agar dia disana tidak mendapatkan satu halangan apapun selamat sampai kembali.
Kesendirianku sebagai seorang guru agama bernama Rachmawati di sebuah Sekolah Dasar dekat tempat tinggalku memang selalu terobati acap kali melihat canda riang mereka murid-muridku yang lugu ketika sedang berlarian di halaman sekolah sepulang mereka menuntut ilmu dan ku akui, bahwa sekolah ini merupakan rumah kedua setelah rumahku.
Orang tuaku sama seperti penduduk laki-laki lainnya di kampung ini, berprofesi sebagai nelayan yang kesehariannya turun ke laut mengurusi tangkapan ikan dan menjualnya, selebihnya mengaji di surau dan membuat jala ikan. Akupun mulai mengenalnya tatkala, Ia mendatangi ayahku untuk diwawancarai seputar pekerjaannya sampai akhirnya berlanjut pada kisah cintaku ini berujung dengan penantian dan semoga Tuhan Yang Maha Besar membawanya kembali menjadi kekasihku yang abadi bersama kebahagiaan.
Benny K


Sabtu, 24 Juli 2010

Terpenjara Dalam Ruang Penyesalan

Aku tak menyadari semua sisa hidupku ini akan berakhir dalam ruang yang sempit dan pengap berjeruji besi untuk selamanya.
Namaku Doni Kusumah, umurku tahun ini, genap berusia 25 tahun sejak diriku divonis bersalah oleh hakim pengadilan telah menggunakan narkoba jenis heroin dan menjadi seorang pengedar dengan dijatuhi hukuman seumur hidup mendekam dalam rumah tahanan negara khusus narkoba.
Awalnya, hanya coba-coba karena teman-teman sepermainanku mengajak menggunakan barang haram ini untuk pertama kalinya. Sebelumnya, aku sempat menolak ajakan mereka karena aku yakin dampak yang ditimbulkan olehnya bila menggunakan barang tersebut. Tapi, mereka terus memaksa aku agar mencoba biar dianggap sebagai anak gaul. Akhirnya akupun terpengaruh bujuk rayu mereka dan mulai memakainya. Mulanya biasa saja. Tapi, seterusnya akupun terus ketagihan dan ketagihan lagi. Demi memuaskan keinginan, kadang uang jajan dan sekolah dari orang tuaku kupakai untuk membeli sepaket heroin. bahkan kalau tidak diberi aku terpaksa mengambil barang-barang yang ada dirumahku tanpa sepengetahuan mereka yang penting aku dapat memenuhi kebutuhan yang satu itu.
Setiap hari yang aku pikirkan bagaimana agar terus mendapatkan barang yang ku inginkan walau segala cara telah ku tempuh sampai mengorbankan seisi rumah termasuk tape recorder dan computer kesayanganku. Sementara, orang tuaku tak menyadari apa yang terjadi selama ini. Mereka bukanlah orang sibuk seperti kebanyakan yang dilakukan orang tua teman-temanku. Orang tuaku hanyalah pedagang barang klontongan di sebuah pasar tidak jauh dari tempat tinggalku.
Bersama waktu berlalu, jadwal sekolah yang sebentar lagi akan ku tamatkan terus ku upayakan diselesaikan agar orang tuaku tidak khawatir aku tidak lulus nantinya. Namun, seiring waktu berjalan tingkat pergaulanku bukan lagi sebatas memakai narkoba tapi sudah menjadi seorang pengedar. Para Bandar yang ku kenal telah mempercayaiku untuk menjualkan kepada para pelanggan karena aku dianggap jujur dan setiap berhasil teransaksi aku diberi bonus satu paket oleh mereka, jadi aku mau saja melakoninya. Jaringan mereka kuat mulai dari preman terminal sampai pejabat bahkan oknum aparat ikut berperan dan sebagian besar para pelangganya adalah anak-anak orang kaya yang broken home. Kesempatan ini, tidak kusia-siakan untuk terus meraup keuntungan lebih besar dari setiap teransaksi dan tidak jarang dari mereka yang juga memesan wanita-wanita “nakal” dariku untuk mereka kencani. Lama-kelamaan waktu sekolah dan istirahatku tersita terus oleh kegiatan illegal ini, walau ku tahu bahwa bahaya besar sedang menghadang dihadapanku.
Keinginan untuk berhenti dari perbuatan tercela ini telah ku coba berulang-ulang dengan berbagai cara tapi, tetap saja rasukan syetan lebih dahsyat pengaruhnya dibanding hasratku yang ingin segera mengakhiri semua. Termasuk menjadi seorang pengedar. Namun, sekali terperosok kedalam lumpur noda tetap tak bisa keluar lagi, para Bandar itu telah lama mengenal diriku sebagai kurir mereka yang setia dalam menjalankan aksi dan para pelangganpun merasa nyaman berbisnis barang haram denganku.
Selama dalam petualangan, aku terpaksa banyak berbohong kepada kedua orang tua dan keluargaku lainnya tentang kelakuanku yang tak bermoral pada mereka dan Setiap kali ditanya aku selalu menghindar berusaha mengalihkan pembicaraan. Akupun sebenarnya menyadari tentang apa yang terjadi pada diriku selama ini, kecanduan narkoba bukanlah jalan menuju kebenaran sejati yang diridhoi Allah SWT sementara, dirumah kehidupan keluargaku adalah muslim sejati yang boleh dibilang taat dalam menjalankan ibadah. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, masa sekolahkupun usai dan nilai yang selama tiga tahun kutempuh di bangku SMA tidak begitu dapat dibanggakan termasuk bagi orangtuaku. Namun, diantara temanku yang lain ada juga yang tidak lulus alias harus mengulang satu tahun lagi.
Inilah yang selanjutnya terjadi, akhir dari semua cerita di dunia hitam ini. Ketika pada hari naas itu, bersama kedua temanku lainnya sedang mengadakan transasksi membawa sejumlah besar paket heroin siap pakai dengan seseorang yang mengaku dirinya sebagai pembeli dari negeri ziran Malaysia di sebuah pondokan dekat tempat kami bertiga biasa nongkrong. Saat akan bertukar barang dari luar pondokan terdengar suara teriakan agar kami yang sedang di dalam ruangan segera keluar dan menyerahkan diri karena kami sudah dikepung. Ternyata, kami sadar telah dijebak yang mengaku sebagai pembeli dari Malaysia ternyata seorang polisi yang sedang menyamar. Tanpa banyak melakukan perlawanan kamipun menyerahkan diri bersama barang bukti heroin dan langsung digelandang dengan tangan terborgol ke kantor polisi.
Sesampainya di sana, kamipun terus dibawa ke sebuah ruangan introgasi untuk dimintai keterangan secara bergiliran dan kamipun mengakui semua perbuatan kami. Sementara, pihak kepolisian memanggil pula orang tau kami masing-masing untuk dimintai kesaksian atas apa yang terjadi pada diri kami, dan mereka akhirnya pasrah tak bisa berkata apa-apa hanya bisa menyerahkan semuanya pada yang kuasa Tuhan YME.
Seminggu sudah kami di dalam tahanan Polres, sebelum akhirnya kami kasus kami dilimpahkan ke pengadilan dan diproses. Dalam putusannya hakim yang mengetuai persidangan memutuskan bahwa kami memang sebagai pemakai dan pengedar narkoba jenis heroin dan wajib menerima hukuman seumur hidup.
Itulah sepenggal kisah sedihku, dijadikan pengalamanku ini sebagai kesadaran kalaian agar jangan meniru perbuatan yang berawal dari ikut-ikutan akhirnya menyesal sendiri.
Benny K


Karl Marx

Karl Heinrich Marx (lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818 – meninggal di London, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia.
Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.
Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif Yahudi. Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, walaupun begitu ayahnya cenderung menjadi deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal untuk menjadi pengacara. Herschel pun mengganti namanya menjadi Heinrich. Saudara Herschel, Samuel — seperti juga leluhurnya— adalah rabi kepala di Trier. Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl Marx.
Pendidikan
Marx menjalani sekolah di rumah sampai ia berumur 13 tahun. Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx melanjutkan pendidikan nya di Universitas Bonn jurusan hukum pada tahun 1835.
Pada usia nya yang ke-17, dimana ia bergabung dengan klub minuman keras Trier Tavern yang mengakibatkan ia mendapat nilai yang buruk. Marx tertarik untuk belajar kesustraan dan filosofi, namun ayahnya tidak menyetujuinya karena ia tak percaya bahwa anaknya akan berhasil memotivasi dirinya sendiri untuk mendapatkan gelar sarjana. Pada tahun berikutnya, ayahnya memaksa Karl Marx untuk pindah ke universitas yang lebih baik, yaitu Friedrich-Wilhelms-Universität di Berlin. Pada saat itu, Marx menulis banyak puisi dan esai tentang kehidupan, menggunakan bahasa teologi yang diwarisi dari ayahnya seperti ‘The Deity’ namun ia juga menerapkan filosofi atheis dari Young Hegelian yang terkenal di Berlin pada saat itu. Marx mendapat gelar Doktor pada tahun 1841 dengan tesis nya yang berjudul ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’ namun, ia harus menyerahkan disertasi nya ke Universitas Jena karena Marx menyadari bahwa status nya sebagai Young Hegelian radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin. Marx mempunyai keponakan yang bernama Azariel, Hans, dan Gerald yang sangat membantunya dalam semua teori yang telah ia ciptakan. Di Berlin, minat Marx beralih ke filsafat, dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Pemuda Hegelian. Sebagian dari mereka, yang disebut juga sebagai Hegelian-kiri, menggunakan metode dialektika Hegel, yang dipisahkan dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan saat itu.
Pada tahun 1981 Marx memperoleh gelar doktor filsafatnya dari Universitas Berlin, sekolah yang dulu sangat dipengaruhi Hegel dan para Hegelian Muda, yang suportif namun kritis terhadap guru mereka. Desertasi doktoral Marx hanyalah satu risalah filosofis yang hambar, namun hal ini mengantisipasi banyak gagasannya kemudian. Setelah lulus ia menjadi penulis di koran radikal-liberal. Dalam kurun waktu sepuluh bulan bekerja disana menjadi editor kepala. Namun, karena posisi politisnya, koran ini ditutup sepuluh bulan kemudian oleh pemerintah. Esai-esai awal yang di publikasikan pada waktu itu mulai merefleksikan sejumlah pandangan-pandangan yang akan mengarahkan Marx sepanjang hidupnya. Dengan bebas, esai-esai tersebut menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi, humanisme, dan idealisme muda. Ia menolak sifat abstrak filsafat Hegelian, impian naif komunis utopis, dan para aktivis yang menyerukan hal-hal yang dipandangnya sebagai aksi politik prematur.
Ketika menolak aktivis-aktivis tersebut, Marx meletakkan landasan karyanya. Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakannya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) :” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.” Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat(kaum paling bawah di negara Romawi).
Akhir dari Kapitalisme
Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus.] Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme.
Di lain tangan, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional. “Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini Hasil dari pergerakan ini kita yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis. Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini. Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. – Ideologi Jerman-Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi. Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Dalam bukunya Marx, Das Kapital (2006), penulis biografi Francis Wheen mengulangi penelitian David McLellan yang menyatakan bahwa sejak Marxisme tidak berhasil di Barat, hal tersebut tidak menjadikan Marxisme sebagai ideologi formal, namun hal tersebut tidak dihalangi oleh kontrol pemerintah untuk dipelajari. Marx Menikah pada tahun 1843 dan segera terpaksa meninggalkan Jerman untuk mencari atmosfir yang lebih liberal di Paris. Disana ia terus menganut gagasan Hegel dan para pendukungnya, namun ia juga mendalami dua gagasan baru –sosialisme Prancis dan ekonomi politik Inggris. Inilah cara uniknya mengawinkan Hegelianisme, sosialisme, dengan ekonomi politik yang membangun orientasi intelektualitasnya.
Di Perancis ia bertemu dengan Friedrich Engels sahabat sepanjang hayatnya, penopang finansialnya dan kolaboratornya Engels adalah anak seorang pemilik pabrik tekstil, dan menjadi seorang sosialis yang bersifat kritis terhadap kondisi yang dihadapi oleh para kelas pekerja. Kendati Marx dan Engels memiliki kesamaan orientasi teoritis, ada banyak perbedaan diantara kedua orang ini. Marx cenderung lebih teoritis, intelektual berantakan, dan sangat berorientasi pada keluarga. Engels adalah pemikir praktis, seorang pengusaha yang rapi dan cermat, serta orang yang sangat tidak percaya pada institusi keluarga. Banyak kesaksian Marx atas nestapa kelas pekerja berasal dari paparan Engels dan gagasan-gagasannya. Pada tahun 1844 Engels dan Marx berbincang lama disalah satu kafe terkenal di Prancis dan ini mendasari pertalian seumur hidup keduanya. Dalam percakapan itu Engels mengatakan, “Persetujuan penuh kita atas arena teoritis telah menjadi gamblang...dan kerja sama kita berawal dari sini”. Tahun berikutnya, Engels mepublikasikan satu karya penting, The Condition of the Working Class in England. Selama masa itu Marx menulis sejumlah karya rumit (banyak diantaranya tidak dipublikasikan sepanjang hayatnya), termasuk The Holy Family dan The German Ideology (keduanya ditulis bersama dengan Engels), namun ia pun menulis The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, yang memayungi perhatiannya yang semakin meningkat terhadap ranah ekonomi.
Di tengah-tengah perbedaan tersebut, Marx dan Engels membangun persekutuan kuat tempat mereka berkolabirasi menulis sejumlah buku dan artikel serta bekerja sama dalam organisasi radikal, dan bahkan Engels menopang Marx sepanjang hidupnya sehingga Marx menagbdikan diri untuk petualang politik dan intelektualnya. Kendati mereka berasosiasi begitu kuat dengan nama Marx dan Engels, Engels menjelaskan bahwa dirinya partner junior Marx. Sebenarnya banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami karya Marx Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian dan dengan mendistorsi dan terlalu meyederhanakan teorinya, meskipun ia tetap setia pada perspektif politik yang telah ia bangun bersama Marx. Karena beberapa tulisannya meresahkan pemerintah Prussia, Pemerintahan Prancis pada akhirnya mengusir Marx pada tahun 1945, dan ia berpindah ke Brussel. Radikalismenya tumbuh, dan ia menjadi anggota aktif gerakan revolusioner internasional. Ia juga bergabung dengan liga komunis dan diminta menulis satu dokumen yang memaparkan tujuan dan kepercayaannya. Hasilnya adalah Communist Manifesto yang terbit pada tahun 1848, satu karya yang ditandai dengan kumandang slogan politik
Pada tahun 1849 Marx pindah ke London, dan karena kegagalan revolusi politiknya pada tahun 1848, ia mulai menarik diri dari aktivitas revolusioner lalu beralih ke penelitian yang lebih serius dan terperinci tentang bekerjanya sistem kapitalis. Pada tahun 1852, ia mulai studi terkenalnya tentang kondisi kerja dalam kapitalisme di British Museum. Studi-studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Capital, yang jilid pertamanya terbit pada tahun 1867; dua jilid lainnya terbit setelah ia meninggal. Ia hidup miskin selama tahun-tahun itu, dan hampir tidak mampu bertahan hidup dengan sedikitnya pendapatan dari tulisan-tulisannya dan dari bantuan Engels Pada tahun 1864 Marx terlibat dalam aktivitas politik dengan bergabung dengan gerakan pekerja Internasional. Ia segera mengemuka dalam gerakan ini dan menghabiskan selama beberapa tahun di dalamnya. Namun disintegrasi yang terjadi di dalam gerakan ini pada tahun 1876, gagalnya sejumlah gerakan revolusioner, dan penyakit yang dideritanya menandai akhir karier Marx. Istrinya meninggal pada tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882, dan Marx sendiri meninggal pada tanggal 14 Maret 1883.
Dalam hidupnya, Marx terkenal sebagai orang yang sukar dimengerti. Ide-ide nya mulai menunjukkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pekerja segera setelah ia meninggal. Pengaruh ini berkembang karena didorong oleh kemenangan dari Marxist Bolsheviks dalam Revolusi Oktober Rusia. Ide Marxian baru mulai mendunia pada abad ke-20.
Karya-karya Marx
Manifest der Kommunistischen Partei
Achtzehnte Brumaire



Ayatollah Ruhollah Khomeini

Sayyid Ayatollah Ruhollah Khomeini (lahir di Khomein, Provinsi Markazi, 24 September 1902 – meninggal di Tehran, Iran, 3 Juni 1989 pada umur 86 tahun) ialah tokoh Revolusi Iran dan merupakan Pemimpin Agung Iran pertama. Lahir di Khomeyn, Iran. Ia belajar teologi di Arak dan kemudian di kota suci Qom, di mana ia mengambil tempat tinggal permanen dan mulai membangun dasar politik untuk melawan keluarga kerajaan Iran, khususnya Shah Mohammed Reza Pahlavi. Uji utama pertamanya – dan rasa politik pertama yang sesungguhnya – tiba pada 1962 saat pemerintahan Shah berhasil mendapatkan RUU yang mencurahkan beberapa kekuasaan pada dewan provinsi dan kota. Sejumlah pengikut Islam keberatan pada perwakilan yang baru dipilih dan tak diwajibkan bersumpah pada al-Qur'an namun pada tiap teks suci yang dipilihnya. Khomeini menggunakan kemarahan ini dan mengatur pemogokan di seluruh negara yang menimbulkan penolakan pada RUU itu.
Khomeini menggunakan posisi yang kuat ini untuk menyampaikan khotbah dari Faiziyveh School yang mendakwa negara berkolusi dengan Israel dan mencoba "mendiskreditkan al-Qur-an." Penangkapannya yang tak terelakkan oleh polisi rahasia Iran, SAVAK, memancing kerusuhan besar-besaran dan reaksi kekerasan yang biasa oleh pihak keamanan yang mengakibatkan kematian ribuan orang.
Khomeini terus susah selama tahun-tahun berikutnya dan pada peringatan pertama kerusuhan pasukan Shah bergerak ke kota Qom, menahan Imam sebelum mengirimnya ke pembuangan di Turki. Ia tinggal sebentar di sana selama sebelum pindah ke Irak di mana melanjutkan pergolakan untuk jatuhnya rezim Shah. Pada 1978 pemerintahan Shah meminta Irak untuk mengusirnya dari Najaf, lalu ia menuju Paris selama sementara profilnya berkembang sebagai refleksi langsung kejatuhan Shah. Peringatan menggelikan yang terkemudian di Persepolis mulai grate dengan orang banyak dan menyusul rangkaian kekacauan keluarga Shah meninggalkan negeri pada Februari 1979, meratakan jalan untuk kembalinya Khomeini dan 'Permulaan Revolusi Islamnya'. Disambut ratusan ribu rakyatnya di bandara dan ribuan lebih lanjut yang berjajar sepanjang jalan kembali ke Teheran. Ayatollah sudah sepantasnya memandang Iran sebagaimana dirinya, dan Khomeinipun menjadi pemimpin spiritual. Teheran menjadi kursi kekuatan, jauh dari jantung kota Qom. Pada 1981 Irak menyerang Iran. Perang itu berlangsung 8 tahun penuh yang menghancurkan hidup jutaan muslimin pada kedua sisi tanpa keuntungannya pada tiap yang bertempur. Khomeini meninggal di Teheran pada 3 Juni 1989.

Kamis, 22 Juli 2010

Do’a Hati Sang Perawan

Ketika suara adzan subuh membangunkan ku dari lelap tidur semalam, terdengar pula suara akrab dari ibunda di luar kamar keras memanggil agar aku lekas beranjak bangun dari peraduan dan terus bergegas mengambil air wudhu. Sementara, ayah dan kakak laki-lakikupun telah bersiap pula dihadapan kiblat menunggu kehadiran aku dan ibuku untuk turut dalam shalat jama’ah.
Itulah keseharian keluarga kecilku dalam menjalankan salah satu perintah Allah SWT bersama dalam sujud syukur memuji kebesaran-Nya setiap waktu dan munajat memohon curahan rahmat, ridha serta keselamatan dan juga kebahagiaan dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Aku sendiri dibesarkan dalam keluarga yang penuh nuansa islami dengan aktivitas keseharian sebagai seorang seorang santriwati di sebuah Pondok Pesatren ternama dekat tempat tinggalku. Usai jam akhir pelajaran bersama teman-teman sepermainan biasanya aku tidak pernah langsung pergi pulang ke rumah, melainkan melanjutkan belajar sambil bermain di sebuah saung dekat pesawahan tak jauh dari tempat ku menuntut ilmu. Namun, keriangan dan candaan kami tidak pernah lama berlangsung. Sebab, ibuku selalu memanggil di kejauhan agar aku lekas kembali ke rumah dan turut membantunya menyiapkan makan siang untuk bapak dan kakak sulungku yang tengah berladang dan berternak di kebun kami yang tidak terlalu luas.
Menjelang waktu Ashar setiap harinya bapak dan kakakku pulang dari berladang. Karena, dari situlah kami sekeluarga mendapatkan rizki membiayai keperluan hidup termasuk sekolahku yang sebentar lagi akan selesai. Tapi, tidak dengan kakak tertuaku yang sebelumnya sengaja tak menamatkan sekolah karena ingin membantu orang tua menjadi seorang petani. Walaupun, kenyataanya nilai dari hasil kecerdasannya di sekolah selalu baik dalam setiap nilai raport yang didapat. Kini, selama tiga tahun sebagai pelajar tingkat Aliah (setingkat SMA) tinggal menghitung hari, karena waktu-waktu terakhir ini aku tengah menghadapi ujian akhir menuju kelulusan yang aku harapkan tercapai.
Ambang pikiran serta harapan untuk melanjutkan ke bangku kuliah selalu terbayangkan dalam benakku setiap waktu, ingin segera melepas seragam yang telah menjenuhkan hari-hariku dalam penantian. Isian tiap isian soal ujianpun seperti tak berat kupikirkan untuk segera dijawab berlomba dengan waktu yang setiap saat berlalu cepat.
Dirumah Ibu, bapak, dan kakakku semuanya berdo’a agar aku tak tinggal kelas selesai dan lulus dengan sempurna tanpa kecewa di akhir penentuan nilai. Disekolahpun para guru menginginkan hal yang sama, berharap semua santri dan santriwati yang tengah berjuang dalam ujian dapat mencapai nilai kelulusan murni tanpa angka merah di raport dan rendah di ijazah.
Lingkungan pesantren yang begitu luas dengan sejumlah gedung belajar, pondokan serta sebuah masjid besar dan kantin kesayangan disamping halamannya membuat hati dan pikiranku bertambah sedih, dimana sebentar lagi akan meninggalkan semuanya. Namun, tetap kembali dalam kenangan bersama kepergian teman-teman seangkatanku lainnya menuju cita-cita dan harapan masing-masing.
Tak lama berlalu, ketika diumumkan akhirnya, aku termasuk lulusan dengan angka tergolong baik.
Termasuk para sahabat baikku dipesantren, mereka semua bergembira menyambut kelulusan bahkan, ada yang melompat-lompat kegirangan.
Kini, tiba untuk diriku bersiap diri, mempersiapkan segala keperluan demi pilihan utamaku selanjutnya meneruskan ke jenjang kuliah mencapai masadepan sebagai seorang sarjana pertanian seperti apa yang selama ini orang tuaku idam-idamkan. Shalat tahajud beriring Do’a sepanjang malam terus diucapkan khusyu ke khadirat-Nya, mengharap agar dalam menjalani kehidupan selanjutnya tidak salah arah dan tujuan selamat mencapai tujuan.
Ibuku berpesan, agar dalam menempuh apa yang dituju tetap selalu menjaga kesucian diri serta bathin tetap terjaga dengan iman dan taqwa. Terlebih melihat diriku adalah seorang perempuan perawan dan jauh dari orang tua yang diharapkan menjadi salah satu kebanggaan keluarga selain kakakku kelak.
Kakakkupun berpesan agar tetap menjaga ucapan dan perbuatan dimanapun jangan menjadikan diri sebagai korban pergaulan. Tapi jadikan diri sebagai tauladan dalam pergaulan. ketika itu, kupegang semua nasehat mereka, sebab mereka telah menjadi bagian dari hidupku selama ini berada satu atap dalam suka dan duka berurai air mata dan bersukaria bersama.
Aku memutuskan melanjutkan pendidikan bukan karena ikut-ikutan atau keinginan orang tuaku tapi, kenyataan yang membawaku untuk berjuang belajar menggapai cita-cita walau nantinya bapak, ibu, dan kakakku akan berjuang pula sekuat tenaga membiayai segala keperluanku. Namun, semua hal itu tak ingin ku gapai dengan berhati sedih, tetap optimis serta yakin akan perjuangan ini menghasilkan sebuah kebanggaan dan kebahagiaan bersama tanpa kekecewaan.
Kota yang ku tuju, tidak lain mempunyai universitas pertanian terkenal di Jawa Barat dan dapat diunggulkan.Oleh karena itu, aku teruskan untuk mencapainya dengan semua keterbatasanku.
Ladang, kebun dan ternak milik orang tuaku serta kampung halaman saat ini menjadi kenangan sementara untuk ditinggalkan.Semua pasti kembali dengan sebuah kebanggaan dan kebahagiaan
Benny K

Selasa, 20 Juli 2010

Bobotoh dan Budaya Kebersamaan

Setiap kali kita menyaksikan sejumlah pertandingan sepak bola baik itu di televisi, mendengar di siaran radio maupun menonton langsung di sebuah stadion pasti kita jumpai sekolompok besar orang mulai dari anak-anak, remaja sampai orang dewasa menggunakan atribut yang sama seperti t-shirt, syal, spanduk, topi, bendera berlambangkan atau berlogokan kesebelasan kesayangan mereka. Bahkan mereka tidak malu dan canggung mencat bagian tubuh mereka dengan cat berwarna-warni bertuliskan atau gambar logo dan lambang yang sama.
Di semua negara yang warga negaranya mengagumi olah raga sepak bola pasti banyak melakukan hal tersebut, terutama di saat diadakannya sebuah even pertandingan baik berskala lokal, nasional maupun internasional termasuk di Indonesia. Sejak berdirinya sejarah persepakbolaan tanah air sudah cukup lama dikenal di semua lapisan masyarakat yang namanya fans club atau sekolompok warga masyarakat yang sangat mengagumi satu kesebelasan dengan membentuk suatu komunitas beranggotakan orang-orang yang sama-sama mengagumi, mayoritas dari para anggotanya adalah kaum muda. Seperti halnya, di negara Inggris dikenal pula dengan ‘Holigan’ yaitu satu komunitas pencinta salah satu group sepakbola di sana, yang dalam aktivitasnya membela group tersebut, para pendukung ini kadang-kadang nekad berbuat onar di tempat umum apabila tim kesayangan kalah saat melawan tim lain dalam satu pertandingan. Mereka tidak segan dan takut untuk melawan aparat keamanan setempat serta berani menghancurkan segala benda yang ada di hadapan mereka. Kegiatan ini ternyata sudah berlangsung lama serta turun- temurun. Setiap ada pertandingan selalu ricuh dan ricuh lagi tanpa peduli akan sanksi hukum yang berlaku karena alasan mereka hanya satu sebatas pelampiasan rasa ketidak puasan saja.
Sama seperti di Inggris atau negara barat lainnya, Indonesia yang begitu teguh memegang adat dan tradisi ketimuran malah menjadi salah satu negara di asia yang tidak pernah aman bila mengadakan pertandingan sepakbola dimanapun. Contohnya; Bobotoh Persib Bandung dengan Vikingnya, Persebaya Surabaya dengan Bonexnya, dan Persija Jakarta dengan The Jacknya, mereka selalu melakukan keonaran dan keributan bahkan aksi tawuran antar pendukung (sporter) jika diantara kesebelasan besar tersebut dipertemukan.
Pengurus Pusat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) selama ini sudah kwalahan dengan tingkah laku para pendukung sepakbola fanatisme tersebut, termasuk aparat kepolisian. Tidak jarang dari setiap pertandingan besar yang diselenggarakan di seluruh Indonesia pasti banyak menimbulkan kerugian baik material maupun jiwa. Oleh karena itu, sanksi finalti biasanya langsung diberikan pada kesebelasan yang bermain saat itu dengan salah satu hukumannya dilarang bermain pada jadwal pertandingan berikutnya. Kondisi inilah yang menjadikan wajah persepakbolaan tanah air menjadi tercoreng hanya karena ulah dari segelintir orang yang mengatasnamakan pendukung setia salah satu kesebelasan. Akhirnya, semua pihak terkait harus terlibat dengan sanksi hukum.
Bila dilihat dari segi positif, komunitas-komunitas tersebut sangat kompak dalam kebersamaan. Namun, kenyataan dilapangan terkadang kekompakan mereka bukan digunakan dalam hal positif, melainkan merugikan diri sendiri dan lingkungan sekelilingnya. Terlebih banyak pula para orang tua yang akhirnya khawatir sekaligus menyesalkan kalau diantara anak-anak mereka juga ikut terlibat dalam komunitas tersebut. Sebab, dinilai tidak bermanfaat dan pasti banyak ruginya.
Fanatisme terhadap sesuatu yang berlebihan memang dinilai cendrung menjadikan seseorang berperilaku negatif, walau yang mereka dukung tersebut sempat berbuat sesuatu hal yang melanggar hukum, mereka tetap mendukung dan membelanya.Itulah fenomena yang terjadi saat ini di tanah air kita, budaya kebersamaan yang dulunya begitu susah diperjuangkan para pendiri bangsa untuk mengusir para penjajah, kini hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat menghancurkan harapan mereka untuk dapat membangun negara ini lebih maju dan beradab.
Mungkin, bukan hanya dalam dunia olahraga saja, unsur-unsur fanatisme selalu menimbulkan kerugian.Tetapi, di bidang lainpun seperti dunia musik nilai fanatisme selalu berujung pada kekerasan, contohnya para penggemar musik aliran keras alias metal. Inilah yang kini menjadi gambaran umum bahwa Indonesia sebagai negara yang kaya akan khazanah budaya dan etika ketimuran sedikit demi sedikit menjadi terkikis nilai persatuan dan kesatuan bangsanya karena pengaruh globalisasi yang tidak terkendali.Termasuk di dalamnya bagi para pelaku kepentingan lainnya di negeri ini.
Marilah kita sebagai anak bangsa bersama-sama berupaya menyelamatkan negeri ini dari kehancuran terutama kehancuran moral, sebab masa depan negeri ini adalah tanggungjawab kita semua untuk nantinya diwariskan pada generasi berikutnya, jangan ada lagi pertumbahan darah, perselisihan, diantara kita. Selesaikanlah segala masalah bangsa dengan musyawarah untuk menghasilkan mufakat dan kebersamaan agar senantisa negeri kita menjadi damai, tentram dan sejahtera.
Benny K/Satgiat Humas Pramuka Kota Bandung




Revitalisasi dan Perjalanan 50 Tahun Pramuka Indonesia

Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. Boediono,MEc., di Jakarta beberapa waktu lalu menyatakan agar Gerakan Pramuka dapat direvitalisasi kembali mengingat pada kondisi dan situasi saat ini khsususnya di Indonesia peran dan fungsi wadah pendidikan dan pembinaan bagi generasi muda ini sangat bermanfaat sebagai benteng pertahanan mereka dari dampak buruk globalisasi terutama dalam mendidik dan membina watak serta karakter mereka sebagai generasi penerus bangsa.
Pernyataan Boediono tersebut, dinilai penting untuk segera ditindaklanjuti oleh segenap keluarga besar Gerakan Pramuka Indonesia terlebih saat ini pula pembahasan mengenai RUU Gerakan Pramuka untuk dijadikan UU Gerakan Pramuka oleh Komisi X DPR RI tinggal menunggu hasil realisasinya saja. Oleh karena itu, tidaklah terlambat untuk merumuskan program-program baru dalam rangka meningkatkan kualitas para anggota Pramuka di segala bidang, disamping menjadikan mereka sebagai icon pembangunan pemuda Indonesia secara menyeluruh.
Perjalanan Gerakan Pramuka menjelang 50 tahun pada 14 Agustus 2011 mendatang sejak diresmikannya pada 14 Agustus 1961 lalu, selama ini sudah membuktikan keberhasilannya bahwa lembaga non formal ini telah banyak menghasilkan prestasi membanggakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri khususnya dalam hal pembelajaran kreatifitas, kemandirian dan nilai-nilai nasionalisme kaum muda.
Program-program lanjutan inilah yang saat ini dibutuhkan guna memberikan kesempatan seluas-luasnya para anggota pramuka untuk berinovasi tentunya melalui penguasaan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan perkembangan zaman agar nantinya dihasilkan produk unggulan hasil karya mereka yang berkualitas dan bernilai.
50 tahun perjalanan kepramukaan Indonesia tidaklah berarti apa-apa bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Apabila dalam proses pelaksanaanya tidak didukung sepenuhnya oleh semua pihak yang peduli akan masa depan negara dan bangsa Indonesia selanjutnya. Peran pemerintah RI dalam upayanya mendukung melalui bantuan fasilitas sarana prasarana serta anggaran negara dirasakan cukup untuk dijadikan semangat gerakan pramuka melakukan yang terbaik bagi terciptanya pembangunan sumber daya manusia unggulan di semua sektor kehidupan termasuk kerjasama dengan pihak yang peduli lainnya.
Selain memperingati 50 tahun gerakan pramuka, diperingati pula 100 tahun Kepanduan Indonesia yang mana dari kepanduan Indonesia inilah cikal bakal terbentuknya gerakan pramuka seperti sekarang ini. Dimana, dalam hal nilai-nilai kejuangan dan persatuan bangsa kepanduanlah yang sangat berperan untuk menjadikan generasi muda Indonesia rela berkorban dan cinta tanah air.
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya telah pula menegaskan akan pentingnya revitalisasi gerakan pramuka yang disampaikannya pada HUT Pramuka tahun 2006 lalu. Intinya, pemerintah sangat mendukung sekali gerakan pramuka untuk lebih maju dan berkembang tidak lagi dipandang sebagai pelengkap kegiatan ektrakulikuler sekolah saja, tapi sebagai mitra terdepan pemerintah mensukseskan setiap program pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal ini pembangunan potensi generasi muda.
Diakui, kecendrungan kaum muda masa kini kurang menyukai kegiatan kepramukaan salah satu penyebabnya bahwa pramuka dirasakan sudah ketinggalan jaman. Oleh sebab itu, butuh pemikiran bersama semua unsur gerakan pramuka dalam mengemas setiap kegiatan kepramukaan lewat sentuhan-sentuhan baru berinovasi dan lebih menarik.
Tak terasa sudah setengah abad berlalu perjalanan gerakan kepramukaan di tanah air, yang sudah barang tentu dilalui dengan berbagai bentuk proses waktu, diharapkan kedepan, gerakan pramuka dapat semakin menunjukkan eksistensinya sebagai wadah pendidikan dan pembinaan generasi muda paling unggul dalam mencetak dan membentuk diri setiap manusia Indonesia menjadi nomor satu.
Benny K/ Satgiat Humas Pramuka Kota Bandung




Minggu, 18 Juli 2010

AR Baswedan (1908-1986)

Lahir di Kampung Ampel, Surabaya, Jatim 9 September 1908 dari pasangan suami istri Awad Baswedan dan Aliyah binti Abdullah Jarhum. AR Baswedan merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yakni Ibrahim (meninggal 1944), Ahmad (meninggal 1964), AR Baswedan, dan Umar (meninggal 1976).
AR Baswedan memiliki tiga saudara tiri lain ibu (ibu tirinya bernama Halimah) yakni Abdullah (meninggal 1950), Salim Baswedan, dan Mariam.
Meskipun ayahnya, Awad Baswedan dan keluarga besar Baswedan dikenal sebagai pedagang, AR Baswedan tidak tertarik menjadi pedagang. Ia justru tumbuh sebagai tokoh pergerakan nasional dengan didikan Islam yang kuat.
Pada tahun 1932 AR Baswedan bekerja di harian Sin Tit Po di Surabaya. Ia mendapat rekan seperjuangan Liem Koen Hian, peranakan Cina yang sependirian dengannya. Melalui harian Sin Tit Po, Liem menyerang pemerintah Belanda.
Liem adalah pemimpin redaksi dan penanggung jawab Sin Tit Po. Baswedan menjadi penjaga pojoknya, dengan nama samaran Abun Awas. Baswedan memilih nama Abun Awas (bukan Abu Nawas) karena di Indonesia nama Abu Nawas hanya dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan jenaka. Padahal, tokoh itu juga seorang penyair besar. Sedangkan Baswedan menulis pojok, selain jenaka, juga tajam dan menyakitkan Belanda.
Suatu saat, direktur harian Sin Tit Po menegur Liem Koen Hian dan Baswedan karena sama-sama pedas bila menulis. Rupanya sang direktur mendapt peringtan dari pemerintah Belanda. Tapi AR Baswedan dan kawan-kawan akhirnya keluar dari harian ini ketimbang harus berkompromi dengan Belanda, padahal ia baru setahun di sana.
Gaji 75 gulden yang setara dengan 7 kuintal beras ditinggalkannya, dan memilih bergabung di terbitan Soeara Oemoem milik dr. Soetomo, dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Hanya setahun ia bekerja di suratkabar ini, pada tahu n 1934 ia pindah ke harian Matahari pimpinan Kwee Hing Tjiat di Semarang.
Awalnya, Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan blangkon. Ulahnya itu membuat orang-orang Arab berang, karena saat itu terjadi pertikaian antara kelompok Al Irsyad dan Rabithah Alawiyah.
Dalam Artikel itu AR Baswedan menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. Di mana saya lahir, di situlah tanah airku, kata lelaki itu.
Ia pernah menulis artikel di suratkabar Matahari berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya” yang menganjurkan etnis Arab melaksanakan komitmen dalam Sumpah Pemuda yakni berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia.
Oktober 1934, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang dan mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI). Di partai ini AR Baswedan lalu ditunjuk sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya. Padahal, ia mendapat gaji 120 gulden di sana. Demi perjuangan, katanya.
Malalui Partai Arab Indonesia. Ia menyebut tanah air Arab peranakan adalah Indonesia, kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesiaa-Islam seraya menyerukan agar masyarakat etnis Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia.
Melali PAI, masyarakat etnis Arab mendapatkan pengakuan sebegai bagian dari bangsa Indonesia. PAI bergabung dala, Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI).
GAPPI dan harian Matahari lalu dibubarkan oleh pemerintah Jepang, dan AR Baswedan sempat ditnagkap karena dianggap melawan pemerintahan kolonial Jepang. Baswedan saat itu menolak kebijakan pemerintah kolonial Jepang yang mewajibkan tiap keluarga etnis China dan Arab mendaftarkan diri sebagai bukan orang Indonesia.
Nama AR Baswedan semakin dikenal saat aktif terlibat dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di badan itu ia sempat berpidato yang menegaskan bahwa tanah air peranakan Arab adalah Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Partai Arab Indonesia membubarkan diri ketika pemerintah mengeluarkan manifes politik agar partai membubarkan diri dan membentuk partai baru.
AR Baswedan kemudian masuk di Partai Masyumi sedangkan tokoh dari Partai Arab Indonesia lainnya seperti Hamid Algadri masuk di Partai Sosialis Indonesia dan yang lain aktif menjadi pengurus di Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), bahkan ke Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti dialami Baraqbah yang menjabat Ketua PKI Kaltim.
Perjalanan politiknya terus menanjak sebagi Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante.
Perjalanan hidup selanjutnya membuat AR Baswedan menetap di Yogyakarta. Ia menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu ia juga mengasuh Badan Koordinasi Pengajian Anak-anak (BAKOPA) atau Ikatan Khatib.
AR Baswedan turut mendirikan Lembaga Dakwah Kampus Jamaa`ah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada yang dikenal dengan sebutan JS UGM.
Lembaga itu didirikan sebagai wadah pergerakan, pembinaan, pengkaderan, pengkajian dan pelayanan sekaligus pusat keislaman kampus UGM. Lembaga itu sempat akan dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru.
Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Daoed Joesoef pernah memerintahkan Rektor UGM untuk membubarkan JS dengan dalih banyak pengurus JS terlibat demonstrasi menentang pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978.
Sejumlah buku karya AR Baswedan adalah “Debat Sekeliling PAI” (1939), “Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab” (1934), “Rumah Tangga Rasulullah” (1940). AR Baswedan wafat pada 16 Maret 1986 setelah beberapa hari sakit dan dirawat di Rumah Sakit Islam Jakarta dan jasadnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta. (HN/disarikan dari berbagai sumber)

Dr Soetomo (1888-1983)

Nama Dr Soetomo tentu tak bisa terlepas dari Organisasi “Boedi Oetomo”. Maka tak heran nama Dr Soetomo lebih dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional ketimbang tokoh pers. Bahkan di masa hidupnya ia tercatat telah merbitkan sekaligus menjadi pimpinan sejumlah media.
Soetomo terlahir bernama asli Subroto di desa Ngepeh, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Saat akan masuk sekolah di Bangil nama Soebroto diganti menjadi Soetomo. Soetomo dibesarkan di keluarga yang berkecukupan, terhormat dan sangat memanjakannya. Selesai Sekolah Rendah Belanda di Bangil, terjadi pertentangan antara ayah Sutomo dengan sang kakek. Ayahnya R Soewaji ingin Sutomo masuk STOVIA agar jadi dokter. Sedangkan R Ng Singawijaya sang kakek menginginkan Sutomo menjadi pangreh praja . Soetomo sendiri akhirnya memilih kedokteran (STOVIA) dan resmi menjadi mahasiswa STOVIA . 10 Januari 1903,.
Setelah kuliah sekitar 7 tahun, Soetomo akhirnya lulus pada tahun 1911. Dr Soetomopun bekerja sebagai dokter pemerintah dan ditugaskan di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra.
Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas saran dr. Wahidin Soedirohoesodo mendirikan Budi Oetomo, organisasi modem pertama di Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908. Soetomo sendiri diangkat sebagai ketuanya. Tujuan organisasi ini adalah kemajuan nusa dan bangsa.
Tak hanya aktif di pergerakan. Semasa kuliah ini akivitas jurnalistik Soetomo juga mulai digeluti. Saat Boedi Oetomo berkembang, organisasi ini juga menerbitkan sejumlah media untuk kalangan terbatas. Salah satu media yang digagas Soetomo adalah majalah bulanan “Goeroe Desa”.
Penerbitan media oleh Soetomo makin berkembang saat Boedi Oetomo juga terjun di dunia politik. Pada tahun1920, Soetomo menerbitkan Koran “Boedi Oetomo” di Bandung dan Yogyakarta.
Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Selain itu, ISC juga menerbitkan surat kabar bulanan “Soeloeh Indonesia” dengan Dr Soetomo sebagai ketua merangkap pemimpin umum.
Sebagai media milik ISC, Soeloeh Indonesia menjadi tempat bagi anggota dan simpatisan menuangkan ide-ide nasionalisme dalam bentuk tulisan serta memuat berita dan keputusan-keputusan perkumpulan.
Untuk lebih menyatukan organisasi, Soeloeh Indonesia akhirnya dilebur dengan majalah milik ISC Bandung hingga menjadi “Soeloeh Indonesia Moeda”. Majalah ini pun menjadi mimbar propaganda idealisme kedua studie club ini.
Pada 16 Oktober 1930, bersama pengurus lain, Soetomo sepakat menghapus ISC dan mengubah namanya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Pada 30 Agustus 1931, diteritkan harian Soeara Oemoem menggantikan Soeloeh Indoneia Moeda.
Di bawah kepemimpinan Soetomo, sejumlah mediapun lahir. Selain Soeara Oemoem, juga diterbitkan Tempo di Yogyakarta, Panebar Semangat di Surabaya dan Pedoman tahun 1936.
Tak hanya menerbitkan media. Soetomo juga memegang jabatan sebagai ketua perkumpulan para pengelola surat kabar. Selain menjabat sebagai direktur surat kabar, Soetomo juga seorang jurnalis. Ia banyak menulis di sejumlah media yang diterbitkan. Tulisannya terkenal tajam dan tersusun rapi. Hingga akhir hayatnya, Soetomo juga terus bergelut di dunia jurnalistik.
Setelah menderita sakit selama beberapa bulan, Soetomo akhirnya menghembuskan nafas terakhir 30 Mei 1938. Seluruh penduduk Kota Soerabaia mengantar saat pemakaman Soetomo di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jl Bubutan. (hng)

Sam Ratulangi (1890-1949)

Kata-katanya yang tajam, menjadi salah satu kekhasan Sam Ratulangi. Salah satu kalimat filosofis Sam Ratulangi yang terkenal "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Terlahir dengan nama Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890. Setelah menamatkan Hoofden School (sekolah raja) di Tandano, ia meneruskan pelajarannya ke sekolah Teknik (KWS) di jakarta. Pada tahun 1915 ia berhasil memperoleh Ijazah guru ilmu pasti untuk Sekolah Menengah dari Negara Belanda dan 4 tahun kemudian memperoleh gelar doktor Ilmu pasti dan Ilmu alam di swiss. Ia adalah orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar doctor dari Zurich University, Swiss. Di Negeri Belanda ia menjadi ketua Perhimpunan Indonesia dan di Swiss menjadi ketua organisasi pelajar-pelajar Asia.
Setelah kembali dari Eropah, Sam Ratulangi mengajar ilmu pasti di AMS (setingkat SMA) Yogyakarta dan kemudian pindah ke Bandung mendirikan Maskapai Asuransi Indonesia. Selama 3 tahun, 1924 -1927 ia diangkat sebagai Sekretaris Dewan Minahasa Di Manado. Jabatan itu dimanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat dengan membuka daerah baru untuk pertanian, mendirikan yayasan dana belajar dan lain-lain. Atas perjuangannya yang gigih, Pemerintah Belanda menghapuskan kerja paksa di Minahasa.
Sewaktu menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927, Ratulangi mengajukan tuntutan agar Pemerintah belanda menghapuskan segala perbedaan dalam bidang politik, ekonomi dan pendidikan antara orang Belanda denganorang Indonesia. Pada tahun 1932 ia ikut mendirikan Vereniging van Indonesische Academici (Persatuan Kaum sarjana Indonesia). Organisasi ini bertujuan menghimpun para sarjana Indonesia yang akan membimbing rasa kebangsaan kepada rakyatnya.
Dunia jurnalistik mulai digeluti di tahun 1934. Di tahun ini bersama M. Amir (psikolog) dan PF Dahler (Indonesianis peranakan Belanda), Sam menerbitkan mingguan berbahasa Indonesia ”Penindjauan”. Di surat kabar ini, tulisan-tulisan Sam dikenal cukum tajam. Cercaan demi cercaan yang ditulis Sam di surat kabar ini tak urung membuat gerah pemerintahan kolonial Belanda. Untuk membungkamnya, Belanda melancarkan upaya pembungkaman Sam, dengan menuduhnya terlibat skandal keuangan dalam forum Volksraad. Akibatnya, Sam divonis 4 tahun penjara dan dijalaninya di penjara Sukamiskin, Bandung. Namun, saat di bui inilah sejumlah karya lahir dari buah pikir Sam Ratuangi. Salah satunya yang fenomel adalah “Indonesia in den Pasifik” yang mengupas kedudukan strategis Indonesia di tengah lalu lintas wilayah Asia Pasifik.
8 Januari 1938, Sam menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda “Nationale Commentaren”. Media inilah, yang dijadikan Sam sebagai senjata untuk menghantam mesin kolonial Belanda, tentu disamping pidato-pidato tajamnya di berbagai forum Dewan Rakyat. Di tahun 1938 hingga 1942, “Nationale Commentaren” menjadi surat kabar paling terkemuka dan menjadi bacaan utama kaum intelektual bumiputera. Apalagi sejumlah tokoh pergerakan Indonesia menjadi pendukung surat kabar ini. Seperti Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, MH Thamrin, dsb.
Awal Agustus 1945 Ratulangi diangkat jadi anggota Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia. Setelah RI terbentuk, ia diangkat jadi Gubernur Sulawesi. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui, Irian Jaya, setelah PBB memperjuangkan Sulawesi tetap menjadi bagian RI.
Pada tanggal 30 Juni 1949, Sam Ratulangi meninggal dunia di jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh. Jenazahnya kemudian di makamkan kembali di Tondano. (HN/dari berbagai sumber)

Amir Sjarifuddin Harahap (1907-1948)

“Revolusi telah memakan anaknya sendiri”. Kalimat ini tepat menggambarkan sosok Amir Sjarifuddin Harahap. Mantan Perdana Menteri ke-2 Indonesia ini menjadi korban revolusi yang dia lahirkan. Meninggal tragis pada 19 Desember 1948, saat dieksekusi oleh regu tembak bersama sembilan orang tokoh tanpa nama.
Terlahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907 dengan nama Amir Sjarifuddin Harahap. Sejak kecil Amir sudah telihat berkepribadian teguh. Bahkan Amir kecil mendapat julukan “si Jugulbaut” alias si Badung. Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan) belajar di Kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda.
Di Belanda, Amir aktif berorganisasi di Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen.
September 1927,Amir kembali ke Tanah air dari Belanda. Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Di tahun 1930-an inilah Amir terus mengembangkan kemampuan menulisnya. Amir bahkan dipercaya menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Tahun 1928-1930 dia adalah pimpinan redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Sebagai seorang wartawan, dia menulis dengan nama samaran "Massa Actie".
Tahun 1942, sebelum dipenjara Jepang, Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu membongkar jaringan, organisasi anti-fasisme Jepang yang dimotori Amir. Amir dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25 ribu Gulden dari Van der Plas.
Untuk hal ini, Amir dihukum mati oleh Jepang. Namun, intervensi Soekarno hukuman itu tidak dilaksanakan. Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".
Juli 1945, Amir menulis di Harian Belanda “Nieuwsgier”, bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual. Zaman baru ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depannya. Berbuat untuk negara ini.
Pasca kemerdekaan, karir Amir makin cemerlang. Ia dipercaya menjadi menteri pertahanan pada kabinet Sjahrir tahun 1946. Bahkan, setelah kelompok persatuan perjuangan menculik perdana menteri sjahir, Amirpun menduduki kursi perdana meteri. Namun, karena dianggap gagal sebagai negosiator utama dalam Persetujuan Renville, Amir Sjariduddin dengan sukarela mengundurkan diri.
Dituding merupakan otak peristiwa Madiun 1948, Amir dihukum tembak mati. Dia dieksekusi 19 Desember 1948, pada usia 41 tahun. Amir diberondong senjata tim eksekusi, suruhan Kolonel Gatot Subroto. Sebelum ditembak, Amir sempat bertanya ke komandan regu tembak. “Apakah niatnya itu sudah dia pikirkan dengan matang. Bahwa jika saya mati, negara akan rugi besar,” dengan tegas dijawab “Saya mengikuti komando”.
Untuk terakhir kalinya, Amir sempat menulis surat untuk isterinya. Setelah itu dia bernyanyi Indonesia Raya dan Internasionale baru ditembak. Saat dieksekusi ia memegang Alkitab. (HN/dari berbagai sumber)

Wage Rudolf Soepratman (1903-1938)

Menyebut nama WAGE Rudolf Soepratman,tentu langsung dikaitkan dengan lagu Indonesia Raya. Memang, WR Soepratman adalah pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Namun, selain pencipta lagu, ia juga dikenal sebagai wartawan sekaligus penulis.
Terlahir dengan nama Soepratman pada hari Senin tanggal 9 Maret 1903 pukul 11 siang di Jatinegara, Jakarta. Berdasarkan perhitungan kalender Jawa, hari Senin itu nama hari pasarannya disebut Wage. Itulah sebabnya di depan nama Soepratman ada tambahan Wage. Sedangkan nama Rudolf, adalah pemberian dari kakak iparnya WM van Eldik, dengan alas an agar bisa Soepratman ke sekolah Belanda.
Sebagai satu-satunya anak lelaki pasangan Djumeno Senen Sastrosoehardjo dengan Siti Senen, tak heran jika Soepratman kecil menjadi kesayangan keluarganya. Namun, kebahagiaan Soepratman terenggut saat kehlangan ibunda terncinta untuk selama-lamanya di usianya yang masih 6 tahun.
Tahun 1914, Soepratman dibawa oleh kakaknya Roekiyem Soepratiyah yang sudah menikah dengan WM van Eldik ke Makassar, Sulawesi Selatan. Disanalah selain sekolah, Soepratman juga belajar musik dengan kakak iparnya van Eldik. Ketertarikan Soepratman terhadap gitar dan biola mulai terlihat disini . Bahkan meski telah lulus dari sekolah guru dan diagkat menjadi guru di Makassar, Soepratman tetap menyalurkan hobi bermain musiknya.
Tahun 1920 ia mendirikan jazz band yang diberi nama “Black and White”. Band pimpinan Soepratman ini di waktu itu terkenal di Makassar. Bahkan hampir setiap ada acara perkawinan dan ulangtahun, band “Black and White” selalu tampil.
Sekitar sepuluh tahun di Makassar, tahun 1924, Soepratman ingin melepas kerinduan terhadap keluarganya di Jawa. Iapun sempat tinggal dengan kakaknya yang nomor dua Roekinah di Surabaya. Namun, tak berapa lama, Soepratman menyusul ayahnya Djumeno Senen Sastrosoehardjo di Cimahi, Jawa Barat. Dalam keadaan hidup yang pas-pasan, Soepratman melamar dan diterima menjadi wartawan di Suratkabar “Kaum Muda” di Bandung. Hanya sebentar menjadi wartawan, kemudian Soepratman bergabung dengan grup musik di rumah bola (societeit).
Setahun kemudian, tahun 1925, Soepratman berkenalan dengan Harun Harahap. Dalam perkenalan itu, Harun menyarankan agar Soepratman pindah ke Jakarta dan menemui Parada Harahap yang akan mendirikan kantor berita. Soepratman akhirnya mendapat izin dari ayahnya untuk pindah ke Jakarta.
Di Jakarta waktu itu situasi perjuangan pemuda sangat terasa. Semangat persatuan antarsuku bangsa yang ada di kalangan pemuda semakin kuat. Waktu itulah, Parada Harahap mendirikan kantor berita yang diberi nama “Alpena”. Namun usia kantor berita ini tidak lama, dan kemudian tutup.
Tahun 1926, Soepratman bergabung ke suratkabar “Sin Po”. Ia menjadi wartawan yang ditugaskan mengikuti pertemuan-pertemuan para pemuda dan berbagai organisasi. Soepratman akhirnya sering mengikuti rapat-rata yang diadakan para pemuda di gedung pertemuan Jalan Kenari, Jakarta.
Tulisan yang disajikan Soepratman di koran “Sin Po” makin tajam dan berkualitas, sehingga namanya dikenal sebagai wartawan kawakan. Bahkan tidak jarang tulisannya yang tajam itu menjadi catatan penguasa Belanda.
Bayarannya sebagai wartawan tidak mencukupi kehidupan Soepratman di Batavia atau Jakarta. Ia tinggal di rumah kecil berdinding bambu di gang becek Kampung Rawamangun. Untuk menambah penghasilan iapun melakukan pekerjaan sambilan berdagang kecil-kecilan, menjual buku bekas.
Sembari tetap menekuni profesi wartawannya, Soepratman mulai mencipta lagu. Lagu mars pertama ciptaan WR Soepratman, lagu “Dari Barat sampai ke Timur” langsung mampu memberi semangat juang bagi para pemuda saat itu.
Setelah lagi ciptaannya yang pertama ini mulai popular di kalangan pemuda dan anak-anak, WR Soepratman menciptakan lagu-lagu yang lain. Salah satu di antaranya, adalah: lagu “Indonesia Raya”.
Selain menjadi wartawan, pencipta lagu Indonesia Raya, serta lagu-lagu perjuangan, membuat pihak intelejen Belanda mengawasi kegiatan WR Soeprataman dalam organisasi kepemudaan yang juga sebagai salah satu pelopor Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda itu.
Dalam keadaan tertekan dan selalu menghindar dari intaian pihak penjajah itu, WR Soepratman yang kurus itu sering sakit-sakitan. Awal tahun 1934 ia dibawa pulang oleh saudaranya ke rumah ayahnya di Jalan warung Contong Cimahi, Jawa Barat. Tak lama, iapun pindah ke Pemalang ikut kakaknya dan akhirnya kembali diambil Kakak sulungnya Roekijem ke Surabaya. Di Surabaya, meski dalam kondisi sakit S oepratman sempat berkenalan dengan Soetomo dan aktif di Parindra (Partai Indonesia Raya) dimana Soetomo sebagai ketuanya.
Kendati dalam keadaan sakit, semangat perjuangan WR Soepratman tetap menggebu-gebu. Suatu hal yang tidak diduga akhirnya datang jua. Pada Minggu, pukul 17.00, tanggal 7 Agustus 1938 saat sedang memimpin anggota pandu KBI menyanyikan lagu ciptaannya yang terakhir “Matahari Terbit” yang disiarkan langsung di NIROM (sekarang RRI), waktu itu di Jalan Embong Malang, ia ditangkap polisi PID. Sepasukan PID (Polisi Militer) Belanda itu menggiring WR Soepratman ke luar gedung dan ditahan langsung dimasukkan ke penjara Kalisosok.
Namun, karena penyakitnya tambah parah saat berada di penjara, sepekan kemudian WR Soepratman diizinkan dibawa pulang oleh keluarganya, ke rumah di Jalan Mangga 21, Kecamatan Tambaksari Surabaya. Dengan penuh kesabaran, WR Soepratman melalui masa-masa sepinya di rumah Jalan Mangga 21 Surabaya ini. Di sini ia hanya ditunggui dan dirawat oleh saudara-saudaranya saja.
Pada hari Rabu, Wage, pukul 12 malam, tanggal 17 Agustus 1938, WR Soepratman menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya itu berpulang ke Rakhmatullah. (HN/dari berbagai sumber)

Djawoto (1906-1992)

Siapa tak kenal buku “Jurnalistik dalam Praktek”. Bagi wartawan pemula atau mahasiswa jurnalistik buku ini seolah menjadi buku panduan terjun di dunia jurnalistik. Buku ini adalah salah satu karya fenomenal Djawoto yang ditulis di tahun1959.
Djawoto, lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur. Pria yang berasal dari keluarga pangreh praja ini mengikuti kursus guru setelah menamatkan sekolah menengahnya. Djawoto kemudian menjadi guru di berbagai sekolah swasta antara lain di Taman Siswa yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara, Pamong Putra dan Tjahaja Kemadjuan, di Kepu, Jakarta.
Sambil menekuni profesinya sebagai guru. Djawoto muda juga sudah aktif di dunia politik. Di usianya yang menginjak 21 tahun, Djawoto sudah dipercaya menjadi sekretaris Partai Sarekat Islam Indonesia (pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto) cabang Makasa. Tak lama kemudian, Djawoto berpindah partai dan bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Makassar yang dipimpin Bung Karno.
Djawoto mulai menulis sejak tahun 1928 atau di usianya sekitar 22 tahun. Ia dikenal sebagai wartawan otodidak. Djawoto belajar sendiri menjadi seorang wartawan dengan membaca serta mengandalkan penguasaan bahasa asing seperti Inggris dan Belanda.
Sebagai wartawan, Djawoto terus menulis hingga masuknya tentara pendudukan Jepang ke Tanah Air yang melarang dibukanya kantor berita. Satu-satunya kantor berita yang diijinkan tetap hidup adalah kantor berita “Domei”. Di kantor berita inilah, selama perang dunia II Djawoto yang bekerjasama dengan Adam Malik meneruskan profesi wartawannya.
Pada tahun 1945 Kantor Berita “Antara” dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.
Karier Djawoto sebagai wartawan terus menanjak. Pada tahun 1950-an ia terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia. Tak hanya PWI, Djawoto juga dipercaya memimpin Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Ia dipilih kembali untuk jabatan tersebut pada kongres PWI di Makassar, 26 Mei 1961.
Sebagai ketua PWI pusat, pada 1962 Djawoto mengemukakan kepada Presiden Soekarno usul penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia Afrika di Bandung. Konferensi ini terselenggara pada 1965, sementara gagasan awalnya telah tercetus sejak Konferensi Asia Afrika pada 1955. Sebelumnya, pada 24 April 1963 ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA).
Sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI, Djawoto bersama H. Agus Salim menyusun untuk pertama kalinya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.
6 Februari 1964, Presiden Soekarno menunjuk Djawoto menjadi Duta Besar RI untuk RRT. Di tahun 1965-1966, sekretariat PWAA dipindahkan dari Jakarta ke Peking, dan Djawoto kembali diangkat sebagai Sekjen.
Di kehidupan sehari-harinya Djawoto dikenal akan kesetiannya kepada garis politik Soekarno. Karena itu, saat kabar meninggalnya Soekarno di tahun1970 membuatnya sedih luar biasa.
Di tahun 1981 Djawoto beserta keluarganya memutuskan untuk pindah bertempat tinggal di negeri Belanda. Djawoto wafat pada tanggal 24 Desember 1992 dalam usia 86 tahun dan dimakamkan di negeri yang jauh dari tanah-air yang dicintainya, dan terpisah jauh dari rakyat dan bangsanya , yang pernah ia ikut memperjuangkan kemerdekaannya, sebagai guru dan kemudian sebagai wartawan dan dutabesar RI. (HN/dari berbagai sumber)

Adam Malik (1917-1984)

Adam Malik dikenal luas sebagai politikus & diplomat ulung, tak ada yang menyangkal. Namun, tak banyak yang tahu kecemerlangan karirnya di dunia politik hingga mengantarnya menjadi orang kedua di tanah air atau wakil presiden ketiga justru diawali dengan menjadi seorang wartawan.
Adam Malik Batubara lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917. Lahir dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis sejak kecil adam malik gemar menonton film koboi, membaca, dan fotografi. Adam Malik muda, di usia 17 tahun telah menjadi ketua Partindo di Pematang Siantar (1934- 1935) untuk ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik merantau ke Jakarta.
Pada usia 20 tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara tahun 1937 berkantor di JI. Pinangsia 38 Jakarta Kota. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo.
Di zaman Jepang, Adam Malik bekerjasama dengan Djawoto mendirikan dan mengelola kantor berita “Domei”. Kantor berita ini merupakan satu-satunya kantor berita yang diijinkan hidup selama perang dunia II.
Sembari melanjutkan profesi wartawannya, Adam Malik juga aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, Adam Malik melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Akhir tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke pemerintahan menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan Polandia. Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda, untuk penyerahan Irian Barat di tahun 1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang jabatan Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965). Pada masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Nasution dianggap sebagai musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-revolusi.
Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Sejak 1966 sampai 1977 ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II / Menlu ad Interim dan Menlu RI.
Sebagai Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam berbagai perundingan dengan negara-negara lain termasuk rescheduling utang Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Ia orang Asia kedua yang pernah memimpin sidang lembaga tertinggi badan dunia itu. Tahun 1977, ia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Kemudian tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3 menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi.
Beberapa tahun setelah menjabat wakil presiden, ia merasa kurang dapat berperan banyak. Maklum, ia seorang yang terbiasa lincah dan aktif tiba-tiba hanya berperan sesekali meresmikan proyek dan membuka seminar.
Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever . (HN/dari berbagai sumber)

Tirto Adhi Soerjo (1880–1918)

Nama lengkapnya, Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) lahir di Blora Jawa Tengah tahun 1880. Pernah merasakan pendidikan di STOVIA tetapi tidak tamat. Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Sering menyingkat namanya dengan T.A.S ia dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan Tirto nasional Indonesia.
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006. (HN/dari berbagai sumber)

SK Trimurti (1912 – 2008)

Wanita kelahiran Solo, 11 Mei 1912 adalah istri dari penulis naskah otentik proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945/ Muhammad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal dengan Sayuti Melik. Menikah ditahun di tahun 1938 namun kemudian bercerai pada tahun 1969. Dari perkawinan mereka lahir dua orang putra yang diberi nama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro.
Di usia senjanya, ia masih tetap menuangkan kritikan-kritikan tentang apa yang tejadi disekitar dalam tulisan dan goresan diatas kertas. Sikap ramah dan penuh kesopanan, menuntunnya dalam mengungkap fakta-fakta ketidakadilan.
SK Trimurti, demikian ia lebih dikenal, lahir dari pasangan Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo. Nama Karma dan Trimurti yang sering dimunculkannya, digunakannya sebagai samaran secara bergantian untuk untuk menghindar dari delik pers masa pemerintahan kolonial Belanda.
Rupanya siasat itu tidak sampai meloloskannya dari penjara pemerintah Belanda. Sampai-sampai, ia harus melahirkan anak pertamanya Mohammad K Budiman tahun 1939 di lorong penjara penjajah Belanda.
Wanita yang menjadi Menteri Perburuhan pertama pada era Soekarno ini, mengenal dunia politik sejak ia tamat dari Sekolah Ongko Loro, yang waktu itu lebih dikenal dengan sebutan Tweede Inlandsche School. Saat menjadi guru dan sering mendengar pidato Bung Karno, diradio-radio, ia pun tergerak untuk aktif sebagai kader di Partindo. Di partai tersebut, Surastri mengenal Sudiro, Sanusi Pane dan Intojo.
Pada masa-masa itu, saat mengajar di Bandung, Surastri sempat menetap dirumah Ibu Inggit Ganarsih, yang saat itu menjadi contoh tauladan bagi gadis-gadis sebaya Surastri karena oleh Bung Karno, Ibu Inggit dikatakan sebagai Srikandi Indonesia.
Akibat keaktifannya di dunia perjuangan, SK Trimurti sempat merasakan dinginnya dinding penjara pada tahun 1936. Ia dihukum di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang, akibat menyebarkan pamflet anti penjajah. Sekeluarnya ia dari penjara, karena tidak boleh lagi mengajar, Surastri pun bekerja di sebuah percetakan kecil yang merupakan percetakan kaum pejuang. Disinilah ia belajar tentang membuat koran atau mencetak majalah. Dan bakat menulisnya pun mulai terlihat.
Pada tahun 1937, SK Trimurti berkenalan dengan Sayuti Melik. Kedua orang aktivis politik ini pun mengikat janji untuk menjadi suami istri pada 19 Juli 1938. Maka jadilah mereka pasangan suami istri yang saling bahu membahu dalam dunia perjuangan. Dalam masa pernikahannya itu, Sayuti dan Trimurti mengalami romantisme perjuangan. Bahkan demi membela Sayuti, yang menulis artikel berisi anjuran agar rakyat Indonesia tidak membantu Belanda dan dimuat di majalah tempat Trimurti bekerja, Surastri rela mengaku itu tulisannya sehingga ia dikenakan tahanan luar, karena saat itu ia tengah mengandung anak pertamanya.
Pada masa kemerdekaan, oleh Soekarno, SK Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, mulai dari 3 Juli 1947 sampai 23 Januari 1948. Awalnya ia merasa tidak mampu, namun berkat bujukan Drs Setiajid, hatinya pun luluh. Namun kabinet tersebut tidak berjalan lama.
Pensiun jadi menteri, SK Trimurti menjadi anggota Dewan Nasional RI Ia juga melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan tamat tahun 1960. 1962 hingga 1964, ia diutus oleh Pemerintah RI ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker’s Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Karena dedikasinya kepada dunia perburuhan/ SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI).
Meski bergelut dalam dunia perburuhan, timbul rasa rindu dihatinya untuk kembali menekuni dunia jurnalistik. Maka ia pun menerbitkan majalah yang diberi nama Mawas Diri, yang memuat soal-soal kekagamaan, aliran kepercayaan, soal-soal etika, moral dan sebagainya.
Selasa 20 Mei 2008 pukul 18.30 wib, SK Trimurti meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto Jakarta Pusat dalam usia 96 tahun dan dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. (dari berbagai sumber)

Mochtar Lubis (7 Maret 1922 – 2 Juli 2004)

Selain jurnalis, juga dikenal sebagai sastrawan. Ia salah seorang perintis Kantor Berita Antara pemimpin harian Indonesia Raya dan majalah sastra Horizon. Harian Indonesia Raya sempat dilarang terbit oleh rezim Soekarno. Bahkan ia sempat dipenjarakan oleh Soekarno selama sembilan tahun, dan dibebaskan pada tahun 1966. Meski seorang otodidak, banyak penghargaan ia terima sebagai penulis karya sastra dan jurnalis. Termasuk diantaranya Magsaysay Award.
Muchtar Lubis lahir di Padang Sumatra Barat pada 7 Maret 1922. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS. Namun, putra Pandapotan Lubis yang pernah bekerja sebagai Demang atau Kepala Daerah di Kerinci ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum hijrah ke Jakarta.
Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja.
Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dan kawan kawan muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia.
Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ia berkesempatan meliput Perang Korea pada pertengahan tahun 1950. Sejak itulah ia dikenal sebagai wartawan perang dan Mochtar Lubis identik dengan harian Indonesia Raya.
Beberapa laporan mengenai affair pejabat tinggi termasuk Bung Karno saat membuatnya dikenai tahanan rumah pada tahun 1957. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun. Di sana ia ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Soekarno melarang penerbitan Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi.

Tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali. Kini, korupsi di Pertamina yang saat itu dipimpin Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, menjadi sorotan Lubis dalam laporannya. Hasilnya, Ibnu mundur.
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis kembali ditahan selama dua bulan.
Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Pada tahun 1958, Lubis memperoleh Magsaysay Award untuk karya jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia.
Mochtar Lubis meninggal di Jakarta 2 Juli 2004 dan dimakamkan di pemakaman Jeruk Purut Jakarta.

Haji Misbach (1876 – 1926)

Di kalangan gerakan Islam, namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang beraliran komunis. Antikapitalis ini mengekspresikan sikapnya dengan menulis artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak.
Masa kecilnya bernama Achmad, lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876. Setelah menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Nama Haji Mohammad Misbach ia sandang setelah menunaikan ibadah haji.
Ia dibesarkan di keluarga pedagang batik yang kaya raya. Lingkungan tempatnya tumbuh adalah lingkungan tempat tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayahnya sendiri adalah pejabat keagamaan. Saat masih bocah, ia bernama Ahmad lalu berubah menjadi Darmodiprono setelah menikah. Nama Haji Mohammad Misbach ia sandang setelah menunaikan ibadah haji.
Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI).
Misbach adalah sosok yang populis, egaliter dan tampil sebagai sosok dengan retorika yang mengagumkan. Sebagai seorang haji ia bahkan lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa.
Ia mulai aktif terlibat dalam pergerakan dengan bergabung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco Kartodikromo pada tahun 1914. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang terbit pertama kali pada tanggal 15 Januari 1915. Islam Bergerak juga diterbikannya pada tahun 1917. Kedua surat kabar inilah yang menjadi media gerakan dan sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.
Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemikiran kritis terhadap kolonialisme dan kapitalisme. Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap.
Pada 16 Mei 1920, Misbach kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi Misbach adalah orang pertama yang diasingkan di kawasan Hindia.

Rosihan Anwar

H. Rosihan Anwar lahir 10 Mei 1922 di Kubang Nan Duo, Sumatera Barat, mulai jadi wartawan awal 1943 di surat kabar Asia Raja, Jakarta, kemudian redaktur pelaksana Merdeka (1945-1946), pemimpin redaksi majalah Siasat (1947), seterusnya pemimpin redaksi harian Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974). Setelah Peristiwa Malari 1974 Pedoman dilarang terbit, jadi wartawan freelance di dalam dan luar negeri, di antaranya kolumnis Asiaweek (Hong Kong), koresponden The Straits Times (Singapura), The New Straits TImes (Kuala Lumpur). Selain di bidang kewartawanan juga aktif di bidang perfilman, tidak saja ikut bersama Usmar Ismail mendirikan PT Perfini awal 1950, tetapi juga jadi anggota Dewan Film Nasional, anggota juri Festival Film Indonesia (FFI), wakil ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), seterusnya jadi aktor pembantu dalam beberapa film seperti Lagi-lagi Krisis, Karmila, Tjoet Nja' Dien. Telah menulis sekitar 30-an buku mengenai jurnalistik, agama, sejarah, novel, dan politik. Penyandang tanda kehormatan: Bintang Mahaputera Utama (III) tahun 1973; Pena Mas PWI Pusat (1979); Bintang Rizal Filipina (1977), dan Penghargaan Pemerintah Daerah Sumatera Barat (1984).

Sabtu, 17 Juli 2010

Kesenian Doger Moyet Dalam Hiruk Pikunya Budaya

Salah satu kesenian rakyat yang boleh dibilang masih kuat bertahan ditengah hiruk pikuknya budaya seperti sekarang ini adalah Doger Monyet. Memang dalam perjalanan berkeseniannya doger monyet ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terutama masyarakat di daerah perkotaan. Sebab, setiap hari pasti sering dijumpai baik diperempatan jalan, pusat-pusat keramaian, dan sejumlah tempat lainnya mereka selalu muncul dan beraksi dengan menggunakan media binatang seekor monyet sebagai ikon yang telah dilatih khusus untuk menari dan berjoget layaknya manusia sambil berganti penampilan diiringi seperangkat tetabuhan dari sang pawang.
Keberadaan kelompok kesenian doger monyet ini, dirasakan makin hari makin bertambah seiring jumlah kepadatan penduduk kota yang terus meningkat dari waktu ke waktu dan mayoritas mereka banyak bermukim di sekitar pinggiran kota. Penghasilan perhari merekapun dari hasil mendoger biasanya jauh dari dasar perkiraan, rata-rata hanya dapat menutupi untuk keperluan makan dan bertahan hidup.
Selain kesenian doger monyet masih ada lagi sejumlah penghibur jalanan seperti para pengamen yang terus setia menghibur serta menemani masyarakat dari pinggiran jalan. Mereka seperti tidak pernah mengenal lelah untuk mencari sesuap nasi dengan kemampuan yang apa adanya, tetap menjalankan profesi walau beban hidup terasa berat dan terus bertambah.
Sepintas kesenian doger monyet ini hanyalah salah satu jenis hiburan murah dan tidak bermutu. Namun, bila diperhatikan lebih dalam bagaimana si pawang memandu seekor monyet kesayangannya dalam melakukan atraksi menggunakan alat-alat yang sering dipakai manusia sehari-hari dengan begitu lincah dan aktraktif.
Melihat fenomena ini, sepertinya semua pihak harus lebih menyikapinya dengan arif dan bijaksana terutama bagi pemerintah, para seniman dan budayawan, serta masyarakat yang peduli akan kelestarian seni budaya bagaimana nantinya kesenian rakyat yang sudah tergolong terpinggirkan ini dapat lebih bernilai seni ditengah pengaruh budaya asing yang lebih banyak menonjol di negeri ini dibanding kekayaan budaya bangsa sendiri.
Komunikasi yang disampaikan pada setiap pertunjukan doger monyet seharusnya dapat memberikan pemahaman bagi kita sebagai insan manusia akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan YME kepada semua mahluk ciptaanya bahwa seekor binatang seperti monyet dan yang lainnyapun dapat menuruti perintah si pawang untuk melakukan apa yang sering manusia lakukan seperti dalam pertunjukan sirkus dan lain sebagainya.
Sebelumnya, binatang-binatang tersebut memang sudah dipersiapkan sejak kecil untuk dapat memainkan berbagai macam atraksi memukau, tentunya melalui proses latihan yang terbilang cukup sulit dan lama. Namun, kadangkala kita juga sering jumpai di beberapa daerah, binatang yang satu ini malah menjadi sasaran buruan para pemburu liar untuk dijadikan santapan manusia, terbukti di sejumlah rumah makan ada yang masih menyajikan aneka masakan berasal dari daging monyet atau binatang lainnya. Bahkan lebih kejam lagi terutama dari jenis binatang langka mereka berani mengambil kulit dan gadingnya saja yang seterusnya dijual secara ilegal ke luar negeri tanpa mempedulikan peraturan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, menyikapi hal tersebut, berbagai upaya terus dilakukan baik oleh pemerintah melalui dinas terkait lembaga pelestarian lingkungan hidup dalam maupun luar negeri yang peduli terhadap kelestarian dan kelangsungan hidup beragam fauna tersebut dengan cara pengembangbiakan satwa langka lewat karantina atau penangkaran.
Benny K

Jumat, 16 Juli 2010

Perlindungan dan Masa Depan Anak Indonesia

Masih ingatkah kita dengan kisah tragis yang dialami seorang bocah laki-laki bernama Harianggara sekian tahun lalu. Dalam usia sekolah yang masih relatif kecil Ia telah banyak menerima tekanan bathin di lingkungan rumahnya sendiri, baik berupa siksaan fisik maupun mental terutama dari kedua orang tuannya. Alasan peristiwa itu terjadi hanya karena dipicu persoalan kecil yang dianggap kurang menuruti perintah mereka. Oleh karenanya, Iapun menjadi sering mendapat hukuman sampai pada tindakan kekerasan fisik. Akhirnya, karena tidak kuat terlalu lama menahan penderitaan, Iapun menghembuskan nafas terakhir meninggalkan keluarga dan masa-masa kecil yang seharusnya dilalui dengan penuh kebahagiaan bersama orang tua dan teman-teman sebaya. Selanjutnya, kejadian tersebut menjadi urusan pihak kepolisian yang seterusnya si pelaku mendapat hukuman setimpal atas segala perbuatannya.
Peristiwa atau kejadian yang dialami Harianggara seharusnya wajib menjadi pelajaran penting bagi siapa saja khususnya para orang tua dimanapun berada bagaimana mereka dalam menerapkan peraturan atau tata tertib di lingkungan rumah dapat dipatuhi oleh setiap anggota keluarga tanpa harus menimbulkan efek samping dari aturan yang diterapkan termasuk di lingkungan sekolah ataupun pergaulannya. Namun, kecendrungan yang dirasakan saat ini, di beberapa lingkungan masyarakat yang notabene sangat keras bergelut dengan kebutuhan ekonomi hal tersebut bukan menjadi prioritas untuk dipahami secara menyeluruh, karena menurut mereka yang utama terpikirkan adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan ekonomi walaupun jalan yang dipakai untuk mendapatkannya melalui cara yang tidak manusiawi. Melihat kondisi tersebut, bagaimana anak-anak dalam usia yang belum cukup umur untuk mencari nafkah harus dihadapkan dengan kenyataan pahit dipaksa berjuang memenuhi kebutuhan hidup bersama orang tua mereka. Seperti halnya yang sering terlihat di perempatan-perempatan jalan, di pelabuhan kapal, pasar-pasar, dan di beberapa lokasi umum lainnya. Bahkan adapula diantara mereka yang ‘bekerja’ di wilayah keremangan malam.
Upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari segala macam bentuk ancaman maupun eksploitasi telah menjadi salah satu program pemerintah pusat dan daerah serta pihak terkait lainnya dalam upaya menyelamatkan kehidupan seluruh anak-anak Indonesia melalui jalur hukum yang berlaku di Indonesia termasuk mengupayakan sarana prasarana pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Di sejumlah negara maju, undang-undang perlindungan anak dinilai sangat ketat dalam aturan pelaksanaanya dikarenakan, banyaknya kasus yang terungkap di tengah masyarakat menyangkut soal anak.
Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang di kawasan asia, merasakan permasalahan perlindungan anak begitu penting untuk disikapi bersama sebab, dampak dari masalah ekonomi, sosial,dan politik dalam negeri yang sedang berjalan melewati masa transisi berpengaruh sekali pada masadepan mereka.
Pola kesadaran masyarakat akan pentingnya keluarga sebagai landasan dalam membangun karakter bangsa tidak akan berhasil apabila kurangnya dukungan dari masyarakat itu sendiri baik dari segi pemahamannya maupun pelaksanaanya. Oleh sebab itu, pada Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli ini, diharapkan dapat memberikan solusi baru bagaimana agar anak-anak Indonesia yang telah menjadi tanggungjawab bersama semua pihak tetap dalam kondisi merdeka dari segala macam bentuk ancaman atau eksploitasi serta dapat mengukir prestasi setinggi-tingginya demi masa depan Indonesia selanjutnya.
Benny K