Kamis, 15 Juli 2010

Wayang Dalam Balutan Budaya Jaman

Sejak ratusan tahun lalu kesenian wayang telah menjadi salah satu bagian dari kehidupan spiritual masyarakat kita. Terbukti pada sejarahnya kehadiran kesenian wayang dimulai dari perjalanan para wali Allah dalam mensyiarkan agama Islam di seluruh pelosok tanah jawa.
Sosok wayang sendiri merupakan penjelmaan pribadi setiap lakon yang dimainkan baik menurut sifat maupun prilaku mahluk tuhan berwujud manusia yang dibuat dalam bentuk wayang golek berasal dari kayu dan wayang kulit berbahan baku kulit sapi. Cerita yang dimainkannyapun beragam kisah dan peristiwa disesuaikan dengan waktu, tempat serta zamannya, dimana awal sampai akhir cerita biasanya berujung pada dua kondisi sedih dan gembira. Namun, ditengah cerita para penonton dihibur pula dengan penampilan sejumlah tokoh punakawan yang turut menceriakan perjalanan kisah agar menjadi menarik tidak membosankan.
Pola pengajaran Islam oleh para wali melalui media pertunjukkan wayang diibarakat sebagai sebuah langkah strategis penyebarluasan pemahaman dasar-dasar islam kepada umat dengan cara yang lebih sederhana. Namun, memberikan pengaruh kuat bagi pengertian mereka dalam memahami islam sebagai agama wahyu yang rahmatan lil allamin.
Seiring perjalanan waktu, Seni budaya rakyat inilah yang dapat menembus jaman hingga hari ini, hiruk pikuknya ragam budaya yang ada di nusantara memberikan warna tersendiri dari hasil karya cipta para seniman terdahulu untuk memberikan sumbangsih pemikiran dan filosofi hidup mereka lewat kerajinan ukiran kayu dan kulit yang dipadupadankan bersama alunan musik gamelan.
Konon, penokohan wayang dapat bertindak pula sebagai satu pedoman dan penunjuk arah pada kebenaran dalam menjalani hidup. Tidak jarang diantara para penyuka atau penggemar wayang mengkoleksinya untuk dijadikan simbol sebuah kekuatan batin bagi mereka.
Upaya untuk melestarikan khazanah budaya lokal ini, tidak berhenti pada pertunjukkan wayang saja. Tapi, memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para perajin kayu maupun kulit untuk mengukir inovasi-inovasi baru dalam bentuk yang lain. Namun, tidak meninggalkan ciri khas serta nilai estetikanya.
Adakalanya, kita sebagai bangsa berbudaya sempat tertegun bila melihat atau menyaksikan hasil karya cipta dari negara lain lebih baik bentukan fisik maupun audio visualnya tentang kebudayaan mereka. Terkadang di satu sisi kitapun malah menjadi korban dari pengaruh negatif kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, peran serta para seniman dan budayawan dalam hal ini yang bertindak selaku ‘ulama’ dari setiap karya seni lokal beserta pihak terkait lainnya tetap mengupayakan jalan keluar terbaik agar setiap karya seni yang tersebar di seluruh nusantara ini tidak cepat luntur apalagi lekang di telan zaman.
Keinginan untuk melestarikan dan mengembangkan hasil karya budaya lokal saat ini memang dirasakan gencar dilakukan pemerintah pusat dan daerah melalui even-even kesenian rakyat serta pameran produk kerajinan lokal hasil dari para perajin nusantara bekerjasama dengan pihak swasta. Diakui diantara sekian banyak produk lokal yang tumbuh sebagian berkualitas eksport. Diharapkan, nantinya diperoleh kesadaran bersama untuk lebih mendidik dan membina para perajin dan pengusaha kerajinan guna meningkatkan nilai tambah usaha mereka kelak.
Benny K

Rumpun Bambu Sebagai Produk Budaya

Sebagaimana kita ketahui bahwa China sejak ratusan tahun lalu khususnya di kawasan asia telah dikenal sebagai negerinya tirai bambu atau salah satu negara yang termasuk banyak menghasilkan produk-produk kebutuhan manusia berasal dari bahan baku tanaman bambu.
Jenis bambu sendiri di dunia jumlahnya banyak dan beragam. Namun, untuk fungsi serta kegunaannya sebagai kebutuhan manusia tidak sebanyak jumlah yang ada, termasuk di Indonesia yang sama-sama berada di satu wilayah asia bahwa setiap barang atau produk yang dihasilkan dari bahan baku bambu semua dilihat dari kelayakan fungsionalnya masing-masing.
Masa kejayaan bambu sendiri sampai saat ini bakal berumur panjang tidak lekang ditelan waktu atau zaman, sebab tumbuhan yang satu ini merupakan awal dari dasar pemikiran manusia untuk menciptakan berbagai karya kerajinan kreatif baru sebagai salah satu kelengkapan kebutuhan hidup disamping barang atau produk berbahan baku lainnya.
Sempat beberapa waktu lamanya, nama bambu ini menghilang dari ingatan masyarakat terutama masyarakat perkotaan menengah ke atas dan tidak lagi dipandang sebagai produk yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari baik kegunaan maupun fungsinya. Dikarenakan, faktor kekuatan atau daya tahan dari tanaman ini tidak sebaik barang-barang ciptaan manusia yang sudah barang tentu lebih berkualitas baik dari sifat ataupun kegunaanya. Akhirnya, bambu hanya diposisikan sebagai kebutuhan tersier saja alias menjadi produk pinggiran.
Dilain pihak, kita mengetahui bahwa bambu dimanapun berada tetap merupakan satu kekuatan alamiah yang didalamnya banyak menyimpan filosofi tentang hidup dan kehidupan terlebih bagi masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai kebudayaan leluhurnya. Oleh karena itu, hasil-hasil kerajinan tangan yang telah lama ada dan mengakar saat ini oleh para seniman dan perajin bambu terus diupayakan menjadi salah satu produk unggulan berkualitas eksport tentunya dengan desain-desain yang tidak kalah nilai seninya dengan produk inport dari luar negeri, selain untuk dijadikan pula komoditi di dalam negeri sendiri.
Pemerintah pusat dalam hal ini melalui dinas-dinas terkait bekerjasama dengan pihak swasta tidak tinggal diam untuk memberikan dukungan serta bantuan berupa fasilitas baik berupa pengetahuan (skill) maupun permodalaan kepada para perajin untuk dapat lebih mengembangkan potensi mereka dalam mengolah kerajinan dari bambu ini sebagai karya cipta bernilai dan berdaya jual tinggi.
Diantara warga masyarakat yang masih sangat peduli terhadap kelestarian tanaman bambu khususnya di Jawa Barat adalah Saung Angklung Mang Udjo melalui kreasi seni Sang Maestro Udjo Nalagena (alm) berupa angklung dan alat musik lainnya terus dipertahankan sampai akhirnya dapat dikenal luas di mancanegara dan berkat rumpun bambu ini negara kita menjadi prioritas turis luar negeri untuk terus dikunjungi.
Mungkin di negeri yang kaya akan khazanah budaya ini, tidak hanya bambu yang harus ditonjolkan. Masih banyak produk-produk unggulan lainnya untuk diberdayakan termasuk kemampuan sumber daya manusianya. Oleh karena itu, usaha-usaha kreatif dibutuhkan agar senantiasa memberikan warna baru dalam mewujudkan kreatifitas berbudaya lokal disamping kecintaan akan kelestarian lingkungan.
Benny K

Selasa, 13 Juli 2010

Kartini

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini'[1], adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Surat-surat
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Buku
Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
Panggil Aku Kartini Saja


Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
· Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.[3] Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.

Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
Kontroversi
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Peringatan
Hari Kartini
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Nama jalan di Belanda
Utrecht: Di Utrecht Jalan RA Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan utama, berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko, Che Guevara, Agostinho Neto.
Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, RA Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan Mathilde Wibaut.
Amsterdam: Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari seluruh dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.
Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik Maluku Selatan.

Bunda Teresa

Bunda Teresa dari Kolkata (lahir di Üsküb,Kerajaan Ottoman, 27 Agustus 1910 – meninggal di Kolkata,India, 5 September 1997 pada umur 87 tahun) adalah seorang biarawati Katolik terkenal dan kontroversial di dunia Internasional yang pekerjaannya di antara orang miskin Kolkata diberitakan secara luas.
Dia diberikan Penghargaan Templeton pada 1973, Penghargaan Perdamaian Nobel pada 1979 dan penghargaan tertinggi warga sipil India, Bharat Ratna pada 1980. Dia dijadikan Warga Negara Kehormatan Amerika Serikat pada 1996 (satu di antara enam). Dia diberkati oleh Paus Yohanes Paulus II pada Oktober 2003, dan oleh karena itu dia dapat dipanggil Teresa Terberkati.
Awal hidup dan karier
Teresa dilahirkan sebagai Agnes Gonxha Bojaxhiu di Üskübdi negara yang sekarang bernama Republik Kosovo. . Ayahnya adalah seorang pedagang sukses. Orang tuanya memiliki tiga anak, dan Agnes merupakan yang termuda. Orang tuanya Nikollë (Kolë) and Dranafile Bojaxhiu, berasal dari kota Prizren di selatan Kosovo. Mereka menganut Katolik, meskipun kebanyakan orang Albania adalah Muslim dan mayoritas populasi di Makedonia adalah Ortodoks Makedonia
Sangat sedikit diketahui tentang awal hidupnya kecuali dari tulisannya sendiri. Dia mengingat bahwa dia merasa panggilan untuk menolong si miskin dari umur 12, dan mengambil keputusan untuk melatih dirinya dalam kerja misi di India. Dia adalah anggota dari mudika di paroki setempat disebut Sodality. Pada umur 18, Vatikan mengizinkan Teresa untuk meninggalkan Skopje dan bergabung dengan Kesusteran Loreto, sebuah komunitas biarawati Irlandia di Rathfarnham dengan sebuah misi di Kolkata.
Dia memilih Kesusteran Loreto karena panggilan mereka adalah untuk menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Setelah beberapa bulan pelatihan di Institut "Blessed Virgin Mary" di Dublin dia dikirim ke Darjeeling di India sebagai suster novisiat. Pada 1931 dia melakukan kaulnya yang pertama di sana, memilih nama Suster Maria Teresa sebagai penghormatan kepada Teresa Avila dan Thérèse de Lisieux. Dia mengambil kaulnya yang terakhir pada Mei 1937, mendapatkan gelar keagamaan Bunda Teresa.
Dari 1930 sampai 1948 Bunda Teresa mengajar geografi dan katekisme di SMA St. Mary di Kolkata, menjadi kepala sekolah pada 1944. Dia kemudian mengatakan bahwa kemiskinan di sekitar meninggalkan kesan yang dalam dirinya. Pada September 1946, atas keinginan sendiri, dia menerima panggilan yang dalam dari Tuhan "untuk melayani Dia di antara termiskin dari yang miskin".
Pada 1948 dia menerima izin dari Paus Pius XII, melalui Uskup Agung Kolkata, untuk meninggalkan komunitasnya dan hidup sebagai suster merdeka. Dia keluar dari SMA tersebut dan setelah pendidikan pendek dengan "Medical Mission Sisters" di Patna, dia kembali ke Kolkata dan mendirikan tempat tinggal sementara dengan "Little Sisters of the Poor" di perkampungan Moti Jihl, Kalkuta. Dia kemudian memulai sekolah ruang terbuka untuk anak-anak tak memiliki rumah. Kemudian dia bergabung dengan sukarelawan penolong, dan dia menerima dukungan finansial dari organisasi gereja dan otoritas munisipal.
Pada Oktober 1950 Teresa menerima izin dari Vatikan untuk memulai ordonya sendiri. Vatikan awalnya menamakannya "Diocesan Congregation of the Calcutta Diocese", tapi kemudian berubah menjadi Missionaries of Charity, yang misinya adalah untuk memberikan perhatian untuk (dalam katanya sendiri) "si lapar, si telanjang, si gelandangan, si pincang, si buta, si lepra, dan semua orang yang merasa tak diinginkan, tak dicintai, tak diperhatikan dalam masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan ditolak oleh siapa pun."
Dengan bantuan dari pejabat India dia mengubah sebuah kuil Hindu yang telah ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah 'rumah sakit kecil' ("hospis") bagi si miskin. Tidak lama setelah dia membuka hospice lainnya, Nirmal Hriday (Hati Murni), sebuah rumah lepra disebut Shanti Nagar (Kota Kedamaian), dan sebuah panti asuhan, dan pada 1960-an telah membuka banyak hospis, panti asuhan, dan rumah lepra di banyak tempat di India.
Pada 1965 dengan memberikan Decree of Praise, Paus Paulus VI mengizinkan permintaan Bunda Teresa untuk mengembangkan ordonya ke negara lain. Ordo Teresa mulai tumbuh cepat, dengan rumah-rumah baru dibuka di banyak tempat di dunia. Rumah pertama ordo ini di luar India didirikan di Venezuela, dan kemudian diikuti di Roma dan Tanzania, dan kemudian di banyak negara di Asia, Afrika, dan Eropa, termasuk Albania. Sebagai tambahan, rumah Missionaries of Charity pertama di Amerika Serikat didirikan di Bronx Selatan, New York.

Dalai Lama

Dalam Tibetan Buddhism, para Dalai Lama (bahasa Tibet : taa-la’i bla-ma; Hanzi sederhana: 达赖喇嘛; Hanzi tradisional: 達賴喇嘛; pinyin: Dálài Lǎmā) adalah garis tulku dari pemimpin Gelugpa yang dapat dilacak kembali sampai 1391. Tibetan Buddhists percaya bahwa Dalai Lama adalah perwujudan insani dari Avalokitesvara ("Chenrezig" [spyan ras gzigs] dalam bahasa Tibet), bodhisattva of compassion. Antara abad XVII dan 1959, Dalai Lama adalah kepala pemerintahan Tibet, mengendalikan sebagian besar negara dari ibukota Lhasa. Dalai Lama adalah kepala Tibetan Buddhism, dan para pemimpin dari keempat aliran percaya bahwa Dalai Lama adalah Lama tertinggi dalam tradisi Tibet. Ia sering dipanggil "His Holiness" (atau HH) sebelum gelarnya.
Dalai Lama sering dikira kepala aliran Gelug, namun jabatan ini resminya dipegang Ganden Tripa (dga' ldan khri pa).
Dalai Lama ke-5, dengan dukungan Gushri Khan, seorang penguasa Mongol dari Khökh Nuur, mempersatukan Tibet. Para Dalai Lama memerintah di Tibet sampai Republik Rakyat Tionghoa menginvasi daerah ini pada 1949 dan kemudian mengambil alih kendali pada 1959. Dalai Lama ke-14 kemudian melarikan diri ke India dan telah renounced temporal power. Dalai Lama ke-14 menginginkan otonomi bagi Tibet, bukan kemerdekaan. Lihat Sejarah Tibet untuk keterangan lebih lanjut.
"Dalai Lama" artinya "lautan" dalam bahasa Mongol, dan "Lama" (bla ma) adalah bahasa Tibet untuk "guru", dan dapat juga berarti "rahib". Gelar ini pertama dianugerahkan oleh penguasa Mongol Altan Khan kepada Sonam Gyatso, seorang abbot di biara Drepung yang dianggap sebagai lama paling terkemuka di masanya. Walaupun Sonam Gyatso menjadi lama pertama yang memegang gelar "Dalai Lama", karena ia adalah anggota ketiga dalam garisnya, ia menjadi "Dalai Lama ke-3". Kedua gelar sebelumnya diberikan kepada dua inkarnasi sebelumnya. Gelar "Dalai Lama" sekarang diberikan kepada setiap inkarnasi pemimpin agama tersebut. Orang Tibet memanggil Dalai Lama Gyawa Rinpoche (rgya ba rin po che) berarti "Precious Victor," atau Yeshe Norbu (ye shes nor bu) berarti "Wisdom Jewel". Dalai Lama ke-14, dan para pendahulunya, dianggap sebagai inkarnasi Buddha of Compassion.

Angkat Khazanah Budaya Dalam Nilai Karya Cipta

Pandangan manusia dalam menilai budaya dan kebudayaan sangat beragam disesuaikan dengan keadaan alam dan lingkungan tempat tinggalnya. Dimanapun manusia dan mahluk hidup lainnya tinggal dari sejak diciptakannya bumi ini Jutaan tahun lalu, telah banyak menghasilkan beragam budaya yang diwujudkan dengan berbagai karya cipta. Semua karya cipta tersebut, pada setiap jamannya dapat diartikan sebagai bentuk penghormatan dan penghayatan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan, salah satu diantaranya melalui pelaksanaan ritual atau ibadah di masing-masing keyakinan, termasuk untuk keperluan hidup lainnya.
Pola pikir manusia yang terus berkembang dari waktu ke waktu menjadikan semua hasil kerajinan tangan mereka baik yang mayoritas terbuat dari unsur batu, kayu, tanah, maupun logam turut pula berkembang dan terus beradaptasi dengan semua kondisi lingkungan. Namun, dari sekian banyak karya yang tersebar di seluruh dunia, ada pula yang menjadikannya sebagai senjata bagi para penggunanya. Intinya, manusia membuat semua karya sudah barang tentu disesuaikan pada kebutuhan akan tujuan hidup baik nilai dasar maupun fungsinya.
Kemajuan teknologi yang terus berlangsung hingga kini, memberikan andil besar dalam perkembangan hasta karya manusia. Pengaruh yang dihasilkannyapun sudah dapat dijadikan inspirasi baru generasi berikutnya, untuk menciptakan karya-karya berinovasi lainnya tanpa meninggalkan nilai estetika didalam setiap produk karya.
Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan belahan dunia lainnya telah membentuk pola nilai tersendiri dalam memahami arti setiap karya yang dihasilkan, tapi tidak sedikit pula malah menjadi unsur perusak tatanan nilai yang telah ada. Oleh karena itu, masyarakat dunia dimanapun dengan caranya masing-masing berupaya menjaga serta melestarikanya agar nilai keaslian budaya leluhur tidak luntur dan terbawa arus jaman yang semakin lama-semakin tidak menentu.
Indonesia sebagai negara multi etnis dan multi kultur dengan beragam kekayaan khazanah budaya adalah salah satu bangsa di kawasan asia yang saat ini sedang berupaya terus menjaga kelestarian setiap hasil karya budaya masyarakatnya. Pemerintah dalam hal ini melalui peraturan pemerintah tidak tinggal diam untuk menyelamatkan dan melindungi berbagai produk karya lokal agar tidak lagi diakui oleh negara lain sebagai karya milik bangsanya.
Peran serta para seniman dan perajin dalam negeri dituntut pula untuk senantiasa menghasilkan karya-karya kreatif baru bermutu dan bernilai termasuk bagi nilai jualnya. Sejumlah karya yang telah mendunia memberikan nilai penghargaan besar bahwa Indonesia dapat pula diperhitungan di mata dunia. Untuk itu, perlu adanya dukungan bersama menciptakan manajemen pengelolaan hasil-hasil budaya lokal demi mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui karya budaya termasuk meningkatkan kesejahteraan para seniman dan perajinnya.
Benny K/ Satgiat Humas Pramuka Bandung



Sabtu, 10 Juli 2010

Memaknai Persatuan dan Kebhinekaan

“ Merdeka”,inilah jargon milik bangsa Indonesia yang kabarnya Oto Iskandar dinantalah orang pertama yang mengumandangkan yel-yel yang unik ini. “ Merdeka” sungguh sebuah kata yang sarat makna. Makna yang pertama : kita sudah terbebas dari belenggu penjajahan yang berlangsung selama ratusan tahun.
Kedua,lambang kebanggaan karena kemerdekaan kita bahkan bukan hadiah belas kasihan dari penjajah, tetapi anugrah dari Gusti nu Mahasuci sebagai buah dari jerih payah, keuletan,perjuangan, dan pengorbanan dari seluruh elemen bangsa. Makna ketiga, kemerdekaan kita bukan didapat tiba-tiba,tetapi buah dari tahapan tahapan yang penuh perhitungan, sistematis,dan rasional.Dimulai dari kebangkitan Nasional ( National Building) 20 Mei 1908,Sumpah Pemuda (Character Building) 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan (State Building) 17 Agustus 1945.
Makna keempat, dengan kemerdekaan, kita dituntut untuk siap memenuhi amanah dan perintah yang tertegra di dalam mukadimah UUD’45,amanah yang secara gambling juga merupakan peri tah dari para pendiri Negara kita. Wajib hukumnya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab oleh kita semua, sesuai dengan fungsi dan tugas kita masing-masing. Untuk sekedar menyegarkan kembali ingatan kita akan amanah tersebut, saya tulis secara singkat : lindugi bangsamu,sejahteraka bangsamu, cerdaskan bangsamu, pelihara perdamaian dunia.
Ingat,Negara Indonesia yang didirikan oleh para pendirinya,adalah Negara Pancasila,bukan Negara komunis, bukan pula sebuah agama, tetapi negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni negara yang menghormati dan menghargai segala agama.
Pada saat negara kita diploklamirkan,bahanbaku yang ada pada saat itu adalah ratusa bahasa daerah, budaya, adat istiadat, filosofi lokal, berbagai agama,dan kepercayaan,serta berbagai ras. Suka atau tidak suka,setuju atau tidak setuju, itulah faktanya,harus kita terima dengan lapang dada.Dengan bahan baku seperti itu, bagaimana kita megatur jurus pertama,kita perlu menyamakan dulu persepsi kita dalam memaknai arti persatuan. Menurut saya, persatuan mengandung arti bersama-sama, tetapi tidak harus sama. Pluralitas harus kita junjung tinggi. Bila kita analogikan,tidak ada bedanya dengan sebuah taman bunga,yang berisikan beribu macam jenis bunga : mawar,melati, gladiol, anggrek,dahlia, hebras, dan beraneka bunga lainnya. Semuanya punya identitas sendiri, punya keindahan sendiri yang membedakanya dari suku bangsa yang lain. Sunda ada sunda, Jawa adalah jawa,Bali adalah bali,Dayak adalah dayak,dan sebagainya.Itulah kebhinekaan.
Jurus kedua,kita juga perlu menyamakan persepsi dalam memaknai arti kesatuan, ratusan suku bangsa,ratusan budaya,ratusan filosofi lokal, dan sebagainya, tidak ada tawar menawar,tidak ada kompromi. Hanya boleh ada satu filosofi negara yaitu Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.Bila kita berbicara tentang kesatuan maka walaupun ada ratusan panji daerah,tetapi hanya boleh ada satu panji Negara yaitu Merah Putih.Bila kita berbicara tentang kesatuan,walaupun ada ratusan bahasa daerah,tetapi hanya boleh ada atu bahasa Negara, yaitu bahasa Indonesia. Bila kita berbicara tentang kesatuan, walaupun ada jutaan lagu daerah,tetapi hanya boleh ada satu lagu kebangsaan yaitu “Indonesia Raya”. Jurus ketiga, melangkah secara konret untuk mewujudkan persatuan. Persatuan tidak akan terwujud tanpa langkah nyata dari setiap elemen bangsa. Kebhinekaan baru bisa terlihat bila setiap suku bangsa berusaha untuk mewujudkan eksistensinya,baik secara individual maupun secara berkelompok.Misalnya, saya selaku etnis Sunda mempunyai kewajiban untuk memelihara identitas Sunda dalam arti luas filosofinya, seninya, bahasanya,busannya,makanannya,tata kramanya,dan cirri-ciri Sundanya. Saya akan sangat bangga bila orang langsung tahu dari gerak-gerik dan gaya saya bahwa saya orang Sunda.Setiap keluarga Sunda berkewajiban untuk memelihara identitas sunda supaya tidak hilang dati taman bung nusantara. Demikian juga suu bangsa lainya, mereka wajib memelihara identitas masing-masing supaya tidak terjadi ungkapan kalimat yang berbunyi,” hilang budayanya hilang bangsanya”.Khusus di tatar sunda untuk memelihara identitas kesundaan secara berkelompok ada Paguyuban Pasudan,Pasundan Istri, Daya Mahasiswa Sunda, Nonoman Sunda, dan masih banyak yang lainnya,bukan untuk memisahkan diri dari NKRI, tetapi justru untuk memelihara persatuan, kebhinekaan, dan Sunda bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jurus keempat, menghormati dan menghargai keberadaan suku bangsa lain, ras lain, agama lain, termasuk menghargai budayanya, filosofinya, ada istiadatnya,agar terwujud taman bunga nusantara yang indah, yang kita pelihara bersama-sama. Inilah salah satu agenda dari geraka pembagunan dalam era otonomi daerah.
Jurus kelima, mewujudkan kesatuan. Kalau jurus ketiga adalah untuk mewujudkan kebhinekaan, jurus kelima ini adalah untuk mewujudkan ketunggalikaan, nasionalisme berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, tanggungjawab utama ada pada pemerintah pusat, melalui system pendidik nasional. Bila pernah terjadi ada pelajar yang membakar bendera Merah Putih jangan serta merta menyalahkan anak itu, tetapi pasti sesuatu yang salah (Something Wrong) dalam system pendidikan kita. Bila anak usia dini (Golden Age) sudah ditanamkan rasa hormat dan bangga terhadap bendera sendiri, terhadap lagu kebangsaan sendiri, saya yakin hal itu tidak akan tertjadi.Dalam hal ini adala salahnya kita menoleh kepada bangsa lain yang secara sungguh-sungguh menanamkan nation and character building sampai kepada ungkapan ekstrem,” right or wrong is my country”, agar jangan sampai terjadi bendera merah putih yang dikibarkan melalui darah dan nyawa diinjak-injak oleh bangsa kita sendiri.
Jurus keenam, memaknai dan menyambut globalisasi dari sisi kepentingan bangsa kita. Bila selama ini globalisasi banyak diartikan seperti glombang dari luar-dalam negeri kita,mengapa tidak kita balik? Artinya, tidak semata-mata pengaruh dari luar yang masuk kepada kita,tetapi justru hal-hal yang baik dari kita, kita globalnya darti lokal menjadi universal. Kita memiliki filosofi “ silih asih, silih asah, silih asuh”, hade ku omong goreng ku omong”, strategi komunikasi yang jitu warisan dari leluhur kita. Kita punya tarian yang indah dari seluruh nusantara,kita punya angklung,kita punya beragam makanan tradisional, mengapa tidak kita globalkan.Globalisasi kita jadikan sarana untuk memenuhi salah satu amanah dalam pembukaan UUD kita yaitu memelihara perdamian dunia. Singkat kata dengan modal kemerdekaan yang wujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan memerankan diri kita sampai kepada masyarakat yang gemah ripah repeh rapih.
Ny.Hj. Popong Otje Djundjunan
Penulis adalah Tokoh Pembaharuan Jawa Barat