Minggu, 18 Juli 2010

Adam Malik (1917-1984)

Adam Malik dikenal luas sebagai politikus & diplomat ulung, tak ada yang menyangkal. Namun, tak banyak yang tahu kecemerlangan karirnya di dunia politik hingga mengantarnya menjadi orang kedua di tanah air atau wakil presiden ketiga justru diawali dengan menjadi seorang wartawan.
Adam Malik Batubara lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917. Lahir dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis sejak kecil adam malik gemar menonton film koboi, membaca, dan fotografi. Adam Malik muda, di usia 17 tahun telah menjadi ketua Partindo di Pematang Siantar (1934- 1935) untuk ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik merantau ke Jakarta.
Pada usia 20 tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara tahun 1937 berkantor di JI. Pinangsia 38 Jakarta Kota. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo.
Di zaman Jepang, Adam Malik bekerjasama dengan Djawoto mendirikan dan mengelola kantor berita “Domei”. Kantor berita ini merupakan satu-satunya kantor berita yang diijinkan hidup selama perang dunia II.
Sembari melanjutkan profesi wartawannya, Adam Malik juga aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, Adam Malik melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Akhir tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke pemerintahan menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan Polandia. Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda, untuk penyerahan Irian Barat di tahun 1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang jabatan Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965). Pada masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Nasution dianggap sebagai musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-revolusi.
Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Sejak 1966 sampai 1977 ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II / Menlu ad Interim dan Menlu RI.
Sebagai Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam berbagai perundingan dengan negara-negara lain termasuk rescheduling utang Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Ia orang Asia kedua yang pernah memimpin sidang lembaga tertinggi badan dunia itu. Tahun 1977, ia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Kemudian tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3 menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi.
Beberapa tahun setelah menjabat wakil presiden, ia merasa kurang dapat berperan banyak. Maklum, ia seorang yang terbiasa lincah dan aktif tiba-tiba hanya berperan sesekali meresmikan proyek dan membuka seminar.
Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever . (HN/dari berbagai sumber)

Tirto Adhi Soerjo (1880–1918)

Nama lengkapnya, Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) lahir di Blora Jawa Tengah tahun 1880. Pernah merasakan pendidikan di STOVIA tetapi tidak tamat. Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Sering menyingkat namanya dengan T.A.S ia dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan Tirto nasional Indonesia.
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006. (HN/dari berbagai sumber)

SK Trimurti (1912 – 2008)

Wanita kelahiran Solo, 11 Mei 1912 adalah istri dari penulis naskah otentik proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945/ Muhammad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal dengan Sayuti Melik. Menikah ditahun di tahun 1938 namun kemudian bercerai pada tahun 1969. Dari perkawinan mereka lahir dua orang putra yang diberi nama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro.
Di usia senjanya, ia masih tetap menuangkan kritikan-kritikan tentang apa yang tejadi disekitar dalam tulisan dan goresan diatas kertas. Sikap ramah dan penuh kesopanan, menuntunnya dalam mengungkap fakta-fakta ketidakadilan.
SK Trimurti, demikian ia lebih dikenal, lahir dari pasangan Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo. Nama Karma dan Trimurti yang sering dimunculkannya, digunakannya sebagai samaran secara bergantian untuk untuk menghindar dari delik pers masa pemerintahan kolonial Belanda.
Rupanya siasat itu tidak sampai meloloskannya dari penjara pemerintah Belanda. Sampai-sampai, ia harus melahirkan anak pertamanya Mohammad K Budiman tahun 1939 di lorong penjara penjajah Belanda.
Wanita yang menjadi Menteri Perburuhan pertama pada era Soekarno ini, mengenal dunia politik sejak ia tamat dari Sekolah Ongko Loro, yang waktu itu lebih dikenal dengan sebutan Tweede Inlandsche School. Saat menjadi guru dan sering mendengar pidato Bung Karno, diradio-radio, ia pun tergerak untuk aktif sebagai kader di Partindo. Di partai tersebut, Surastri mengenal Sudiro, Sanusi Pane dan Intojo.
Pada masa-masa itu, saat mengajar di Bandung, Surastri sempat menetap dirumah Ibu Inggit Ganarsih, yang saat itu menjadi contoh tauladan bagi gadis-gadis sebaya Surastri karena oleh Bung Karno, Ibu Inggit dikatakan sebagai Srikandi Indonesia.
Akibat keaktifannya di dunia perjuangan, SK Trimurti sempat merasakan dinginnya dinding penjara pada tahun 1936. Ia dihukum di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang, akibat menyebarkan pamflet anti penjajah. Sekeluarnya ia dari penjara, karena tidak boleh lagi mengajar, Surastri pun bekerja di sebuah percetakan kecil yang merupakan percetakan kaum pejuang. Disinilah ia belajar tentang membuat koran atau mencetak majalah. Dan bakat menulisnya pun mulai terlihat.
Pada tahun 1937, SK Trimurti berkenalan dengan Sayuti Melik. Kedua orang aktivis politik ini pun mengikat janji untuk menjadi suami istri pada 19 Juli 1938. Maka jadilah mereka pasangan suami istri yang saling bahu membahu dalam dunia perjuangan. Dalam masa pernikahannya itu, Sayuti dan Trimurti mengalami romantisme perjuangan. Bahkan demi membela Sayuti, yang menulis artikel berisi anjuran agar rakyat Indonesia tidak membantu Belanda dan dimuat di majalah tempat Trimurti bekerja, Surastri rela mengaku itu tulisannya sehingga ia dikenakan tahanan luar, karena saat itu ia tengah mengandung anak pertamanya.
Pada masa kemerdekaan, oleh Soekarno, SK Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, mulai dari 3 Juli 1947 sampai 23 Januari 1948. Awalnya ia merasa tidak mampu, namun berkat bujukan Drs Setiajid, hatinya pun luluh. Namun kabinet tersebut tidak berjalan lama.
Pensiun jadi menteri, SK Trimurti menjadi anggota Dewan Nasional RI Ia juga melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan tamat tahun 1960. 1962 hingga 1964, ia diutus oleh Pemerintah RI ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker’s Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Karena dedikasinya kepada dunia perburuhan/ SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI).
Meski bergelut dalam dunia perburuhan, timbul rasa rindu dihatinya untuk kembali menekuni dunia jurnalistik. Maka ia pun menerbitkan majalah yang diberi nama Mawas Diri, yang memuat soal-soal kekagamaan, aliran kepercayaan, soal-soal etika, moral dan sebagainya.
Selasa 20 Mei 2008 pukul 18.30 wib, SK Trimurti meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto Jakarta Pusat dalam usia 96 tahun dan dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. (dari berbagai sumber)

Mochtar Lubis (7 Maret 1922 – 2 Juli 2004)

Selain jurnalis, juga dikenal sebagai sastrawan. Ia salah seorang perintis Kantor Berita Antara pemimpin harian Indonesia Raya dan majalah sastra Horizon. Harian Indonesia Raya sempat dilarang terbit oleh rezim Soekarno. Bahkan ia sempat dipenjarakan oleh Soekarno selama sembilan tahun, dan dibebaskan pada tahun 1966. Meski seorang otodidak, banyak penghargaan ia terima sebagai penulis karya sastra dan jurnalis. Termasuk diantaranya Magsaysay Award.
Muchtar Lubis lahir di Padang Sumatra Barat pada 7 Maret 1922. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS. Namun, putra Pandapotan Lubis yang pernah bekerja sebagai Demang atau Kepala Daerah di Kerinci ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum hijrah ke Jakarta.
Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja.
Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dan kawan kawan muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia.
Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ia berkesempatan meliput Perang Korea pada pertengahan tahun 1950. Sejak itulah ia dikenal sebagai wartawan perang dan Mochtar Lubis identik dengan harian Indonesia Raya.
Beberapa laporan mengenai affair pejabat tinggi termasuk Bung Karno saat membuatnya dikenai tahanan rumah pada tahun 1957. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun. Di sana ia ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Soekarno melarang penerbitan Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi.

Tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali. Kini, korupsi di Pertamina yang saat itu dipimpin Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, menjadi sorotan Lubis dalam laporannya. Hasilnya, Ibnu mundur.
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis kembali ditahan selama dua bulan.
Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Pada tahun 1958, Lubis memperoleh Magsaysay Award untuk karya jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia.
Mochtar Lubis meninggal di Jakarta 2 Juli 2004 dan dimakamkan di pemakaman Jeruk Purut Jakarta.

Haji Misbach (1876 – 1926)

Di kalangan gerakan Islam, namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang beraliran komunis. Antikapitalis ini mengekspresikan sikapnya dengan menulis artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak.
Masa kecilnya bernama Achmad, lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876. Setelah menikah berganti nama menjadi Darmodiprono. Nama Haji Mohammad Misbach ia sandang setelah menunaikan ibadah haji.
Ia dibesarkan di keluarga pedagang batik yang kaya raya. Lingkungan tempatnya tumbuh adalah lingkungan tempat tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayahnya sendiri adalah pejabat keagamaan. Saat masih bocah, ia bernama Ahmad lalu berubah menjadi Darmodiprono setelah menikah. Nama Haji Mohammad Misbach ia sandang setelah menunaikan ibadah haji.
Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI).
Misbach adalah sosok yang populis, egaliter dan tampil sebagai sosok dengan retorika yang mengagumkan. Sebagai seorang haji ia bahkan lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa.
Ia mulai aktif terlibat dalam pergerakan dengan bergabung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco Kartodikromo pada tahun 1914. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang terbit pertama kali pada tanggal 15 Januari 1915. Islam Bergerak juga diterbikannya pada tahun 1917. Kedua surat kabar inilah yang menjadi media gerakan dan sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.
Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemikiran kritis terhadap kolonialisme dan kapitalisme. Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap.
Pada 16 Mei 1920, Misbach kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi Misbach adalah orang pertama yang diasingkan di kawasan Hindia.

Rosihan Anwar

H. Rosihan Anwar lahir 10 Mei 1922 di Kubang Nan Duo, Sumatera Barat, mulai jadi wartawan awal 1943 di surat kabar Asia Raja, Jakarta, kemudian redaktur pelaksana Merdeka (1945-1946), pemimpin redaksi majalah Siasat (1947), seterusnya pemimpin redaksi harian Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974). Setelah Peristiwa Malari 1974 Pedoman dilarang terbit, jadi wartawan freelance di dalam dan luar negeri, di antaranya kolumnis Asiaweek (Hong Kong), koresponden The Straits Times (Singapura), The New Straits TImes (Kuala Lumpur). Selain di bidang kewartawanan juga aktif di bidang perfilman, tidak saja ikut bersama Usmar Ismail mendirikan PT Perfini awal 1950, tetapi juga jadi anggota Dewan Film Nasional, anggota juri Festival Film Indonesia (FFI), wakil ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), seterusnya jadi aktor pembantu dalam beberapa film seperti Lagi-lagi Krisis, Karmila, Tjoet Nja' Dien. Telah menulis sekitar 30-an buku mengenai jurnalistik, agama, sejarah, novel, dan politik. Penyandang tanda kehormatan: Bintang Mahaputera Utama (III) tahun 1973; Pena Mas PWI Pusat (1979); Bintang Rizal Filipina (1977), dan Penghargaan Pemerintah Daerah Sumatera Barat (1984).

Sabtu, 17 Juli 2010

Kesenian Doger Moyet Dalam Hiruk Pikunya Budaya

Salah satu kesenian rakyat yang boleh dibilang masih kuat bertahan ditengah hiruk pikuknya budaya seperti sekarang ini adalah Doger Monyet. Memang dalam perjalanan berkeseniannya doger monyet ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terutama masyarakat di daerah perkotaan. Sebab, setiap hari pasti sering dijumpai baik diperempatan jalan, pusat-pusat keramaian, dan sejumlah tempat lainnya mereka selalu muncul dan beraksi dengan menggunakan media binatang seekor monyet sebagai ikon yang telah dilatih khusus untuk menari dan berjoget layaknya manusia sambil berganti penampilan diiringi seperangkat tetabuhan dari sang pawang.
Keberadaan kelompok kesenian doger monyet ini, dirasakan makin hari makin bertambah seiring jumlah kepadatan penduduk kota yang terus meningkat dari waktu ke waktu dan mayoritas mereka banyak bermukim di sekitar pinggiran kota. Penghasilan perhari merekapun dari hasil mendoger biasanya jauh dari dasar perkiraan, rata-rata hanya dapat menutupi untuk keperluan makan dan bertahan hidup.
Selain kesenian doger monyet masih ada lagi sejumlah penghibur jalanan seperti para pengamen yang terus setia menghibur serta menemani masyarakat dari pinggiran jalan. Mereka seperti tidak pernah mengenal lelah untuk mencari sesuap nasi dengan kemampuan yang apa adanya, tetap menjalankan profesi walau beban hidup terasa berat dan terus bertambah.
Sepintas kesenian doger monyet ini hanyalah salah satu jenis hiburan murah dan tidak bermutu. Namun, bila diperhatikan lebih dalam bagaimana si pawang memandu seekor monyet kesayangannya dalam melakukan atraksi menggunakan alat-alat yang sering dipakai manusia sehari-hari dengan begitu lincah dan aktraktif.
Melihat fenomena ini, sepertinya semua pihak harus lebih menyikapinya dengan arif dan bijaksana terutama bagi pemerintah, para seniman dan budayawan, serta masyarakat yang peduli akan kelestarian seni budaya bagaimana nantinya kesenian rakyat yang sudah tergolong terpinggirkan ini dapat lebih bernilai seni ditengah pengaruh budaya asing yang lebih banyak menonjol di negeri ini dibanding kekayaan budaya bangsa sendiri.
Komunikasi yang disampaikan pada setiap pertunjukan doger monyet seharusnya dapat memberikan pemahaman bagi kita sebagai insan manusia akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan YME kepada semua mahluk ciptaanya bahwa seekor binatang seperti monyet dan yang lainnyapun dapat menuruti perintah si pawang untuk melakukan apa yang sering manusia lakukan seperti dalam pertunjukan sirkus dan lain sebagainya.
Sebelumnya, binatang-binatang tersebut memang sudah dipersiapkan sejak kecil untuk dapat memainkan berbagai macam atraksi memukau, tentunya melalui proses latihan yang terbilang cukup sulit dan lama. Namun, kadangkala kita juga sering jumpai di beberapa daerah, binatang yang satu ini malah menjadi sasaran buruan para pemburu liar untuk dijadikan santapan manusia, terbukti di sejumlah rumah makan ada yang masih menyajikan aneka masakan berasal dari daging monyet atau binatang lainnya. Bahkan lebih kejam lagi terutama dari jenis binatang langka mereka berani mengambil kulit dan gadingnya saja yang seterusnya dijual secara ilegal ke luar negeri tanpa mempedulikan peraturan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, menyikapi hal tersebut, berbagai upaya terus dilakukan baik oleh pemerintah melalui dinas terkait lembaga pelestarian lingkungan hidup dalam maupun luar negeri yang peduli terhadap kelestarian dan kelangsungan hidup beragam fauna tersebut dengan cara pengembangbiakan satwa langka lewat karantina atau penangkaran.
Benny K