Muchtar Lubis lahir di Padang Sumatra Barat pada 7 Maret 1922. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS. Namun, putra Pandapotan Lubis yang pernah bekerja sebagai Demang atau Kepala Daerah di Kerinci ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum hijrah ke Jakarta.
Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja.
Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dan kawan kawan muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia.
Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ia berkesempatan meliput Perang Korea pada pertengahan tahun 1950. Sejak itulah ia dikenal sebagai wartawan perang dan Mochtar Lubis identik dengan harian Indonesia Raya.
Beberapa laporan mengenai affair pejabat tinggi termasuk Bung Karno saat membuatnya dikenai tahanan rumah pada tahun 1957. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun. Di sana ia ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Soekarno melarang penerbitan Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi.
Tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali. Kini, korupsi di Pertamina yang saat itu dipimpin Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, menjadi sorotan Lubis dalam laporannya. Hasilnya, Ibnu mundur.
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis kembali ditahan selama dua bulan.
Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Pada tahun 1958, Lubis memperoleh Magsaysay Award untuk karya jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia.
Mochtar Lubis meninggal di Jakarta 2 Juli 2004 dan dimakamkan di pemakaman Jeruk Purut Jakarta.
Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja.
Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dan kawan kawan muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia.
Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ia berkesempatan meliput Perang Korea pada pertengahan tahun 1950. Sejak itulah ia dikenal sebagai wartawan perang dan Mochtar Lubis identik dengan harian Indonesia Raya.
Beberapa laporan mengenai affair pejabat tinggi termasuk Bung Karno saat membuatnya dikenai tahanan rumah pada tahun 1957. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun. Di sana ia ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Soekarno melarang penerbitan Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi.
Tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali. Kini, korupsi di Pertamina yang saat itu dipimpin Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, menjadi sorotan Lubis dalam laporannya. Hasilnya, Ibnu mundur.
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis kembali ditahan selama dua bulan.
Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Pada tahun 1958, Lubis memperoleh Magsaysay Award untuk karya jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia.
Mochtar Lubis meninggal di Jakarta 2 Juli 2004 dan dimakamkan di pemakaman Jeruk Purut Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar