Minggu, 18 Juli 2010

Amir Sjarifuddin Harahap (1907-1948)

“Revolusi telah memakan anaknya sendiri”. Kalimat ini tepat menggambarkan sosok Amir Sjarifuddin Harahap. Mantan Perdana Menteri ke-2 Indonesia ini menjadi korban revolusi yang dia lahirkan. Meninggal tragis pada 19 Desember 1948, saat dieksekusi oleh regu tembak bersama sembilan orang tokoh tanpa nama.
Terlahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907 dengan nama Amir Sjarifuddin Harahap. Sejak kecil Amir sudah telihat berkepribadian teguh. Bahkan Amir kecil mendapat julukan “si Jugulbaut” alias si Badung. Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, TSG. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan) belajar di Kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah di Belanda.
Di Belanda, Amir aktif berorganisasi di Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen.
September 1927,Amir kembali ke Tanah air dari Belanda. Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Di tahun 1930-an inilah Amir terus mengembangkan kemampuan menulisnya. Amir bahkan dipercaya menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Tahun 1928-1930 dia adalah pimpinan redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Sebagai seorang wartawan, dia menulis dengan nama samaran "Massa Actie".
Tahun 1942, sebelum dipenjara Jepang, Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu membongkar jaringan, organisasi anti-fasisme Jepang yang dimotori Amir. Amir dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25 ribu Gulden dari Van der Plas.
Untuk hal ini, Amir dihukum mati oleh Jepang. Namun, intervensi Soekarno hukuman itu tidak dilaksanakan. Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".
Juli 1945, Amir menulis di Harian Belanda “Nieuwsgier”, bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual. Zaman baru ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depannya. Berbuat untuk negara ini.
Pasca kemerdekaan, karir Amir makin cemerlang. Ia dipercaya menjadi menteri pertahanan pada kabinet Sjahrir tahun 1946. Bahkan, setelah kelompok persatuan perjuangan menculik perdana menteri sjahir, Amirpun menduduki kursi perdana meteri. Namun, karena dianggap gagal sebagai negosiator utama dalam Persetujuan Renville, Amir Sjariduddin dengan sukarela mengundurkan diri.
Dituding merupakan otak peristiwa Madiun 1948, Amir dihukum tembak mati. Dia dieksekusi 19 Desember 1948, pada usia 41 tahun. Amir diberondong senjata tim eksekusi, suruhan Kolonel Gatot Subroto. Sebelum ditembak, Amir sempat bertanya ke komandan regu tembak. “Apakah niatnya itu sudah dia pikirkan dengan matang. Bahwa jika saya mati, negara akan rugi besar,” dengan tegas dijawab “Saya mengikuti komando”.
Untuk terakhir kalinya, Amir sempat menulis surat untuk isterinya. Setelah itu dia bernyanyi Indonesia Raya dan Internasionale baru ditembak. Saat dieksekusi ia memegang Alkitab. (HN/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar