Minggu, 18 Juli 2010

AR Baswedan (1908-1986)

Lahir di Kampung Ampel, Surabaya, Jatim 9 September 1908 dari pasangan suami istri Awad Baswedan dan Aliyah binti Abdullah Jarhum. AR Baswedan merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yakni Ibrahim (meninggal 1944), Ahmad (meninggal 1964), AR Baswedan, dan Umar (meninggal 1976).
AR Baswedan memiliki tiga saudara tiri lain ibu (ibu tirinya bernama Halimah) yakni Abdullah (meninggal 1950), Salim Baswedan, dan Mariam.
Meskipun ayahnya, Awad Baswedan dan keluarga besar Baswedan dikenal sebagai pedagang, AR Baswedan tidak tertarik menjadi pedagang. Ia justru tumbuh sebagai tokoh pergerakan nasional dengan didikan Islam yang kuat.
Pada tahun 1932 AR Baswedan bekerja di harian Sin Tit Po di Surabaya. Ia mendapat rekan seperjuangan Liem Koen Hian, peranakan Cina yang sependirian dengannya. Melalui harian Sin Tit Po, Liem menyerang pemerintah Belanda.
Liem adalah pemimpin redaksi dan penanggung jawab Sin Tit Po. Baswedan menjadi penjaga pojoknya, dengan nama samaran Abun Awas. Baswedan memilih nama Abun Awas (bukan Abu Nawas) karena di Indonesia nama Abu Nawas hanya dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan jenaka. Padahal, tokoh itu juga seorang penyair besar. Sedangkan Baswedan menulis pojok, selain jenaka, juga tajam dan menyakitkan Belanda.
Suatu saat, direktur harian Sin Tit Po menegur Liem Koen Hian dan Baswedan karena sama-sama pedas bila menulis. Rupanya sang direktur mendapt peringtan dari pemerintah Belanda. Tapi AR Baswedan dan kawan-kawan akhirnya keluar dari harian ini ketimbang harus berkompromi dengan Belanda, padahal ia baru setahun di sana.
Gaji 75 gulden yang setara dengan 7 kuintal beras ditinggalkannya, dan memilih bergabung di terbitan Soeara Oemoem milik dr. Soetomo, dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Hanya setahun ia bekerja di suratkabar ini, pada tahu n 1934 ia pindah ke harian Matahari pimpinan Kwee Hing Tjiat di Semarang.
Awalnya, Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan blangkon. Ulahnya itu membuat orang-orang Arab berang, karena saat itu terjadi pertikaian antara kelompok Al Irsyad dan Rabithah Alawiyah.
Dalam Artikel itu AR Baswedan menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. Di mana saya lahir, di situlah tanah airku, kata lelaki itu.
Ia pernah menulis artikel di suratkabar Matahari berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya” yang menganjurkan etnis Arab melaksanakan komitmen dalam Sumpah Pemuda yakni berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia.
Oktober 1934, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang dan mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI). Di partai ini AR Baswedan lalu ditunjuk sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya. Padahal, ia mendapat gaji 120 gulden di sana. Demi perjuangan, katanya.
Malalui Partai Arab Indonesia. Ia menyebut tanah air Arab peranakan adalah Indonesia, kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesiaa-Islam seraya menyerukan agar masyarakat etnis Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia.
Melali PAI, masyarakat etnis Arab mendapatkan pengakuan sebegai bagian dari bangsa Indonesia. PAI bergabung dala, Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI).
GAPPI dan harian Matahari lalu dibubarkan oleh pemerintah Jepang, dan AR Baswedan sempat ditnagkap karena dianggap melawan pemerintahan kolonial Jepang. Baswedan saat itu menolak kebijakan pemerintah kolonial Jepang yang mewajibkan tiap keluarga etnis China dan Arab mendaftarkan diri sebagai bukan orang Indonesia.
Nama AR Baswedan semakin dikenal saat aktif terlibat dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di badan itu ia sempat berpidato yang menegaskan bahwa tanah air peranakan Arab adalah Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Partai Arab Indonesia membubarkan diri ketika pemerintah mengeluarkan manifes politik agar partai membubarkan diri dan membentuk partai baru.
AR Baswedan kemudian masuk di Partai Masyumi sedangkan tokoh dari Partai Arab Indonesia lainnya seperti Hamid Algadri masuk di Partai Sosialis Indonesia dan yang lain aktif menjadi pengurus di Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), bahkan ke Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti dialami Baraqbah yang menjabat Ketua PKI Kaltim.
Perjalanan politiknya terus menanjak sebagi Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante.
Perjalanan hidup selanjutnya membuat AR Baswedan menetap di Yogyakarta. Ia menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu ia juga mengasuh Badan Koordinasi Pengajian Anak-anak (BAKOPA) atau Ikatan Khatib.
AR Baswedan turut mendirikan Lembaga Dakwah Kampus Jamaa`ah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada yang dikenal dengan sebutan JS UGM.
Lembaga itu didirikan sebagai wadah pergerakan, pembinaan, pengkaderan, pengkajian dan pelayanan sekaligus pusat keislaman kampus UGM. Lembaga itu sempat akan dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru.
Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Daoed Joesoef pernah memerintahkan Rektor UGM untuk membubarkan JS dengan dalih banyak pengurus JS terlibat demonstrasi menentang pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978.
Sejumlah buku karya AR Baswedan adalah “Debat Sekeliling PAI” (1939), “Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab” (1934), “Rumah Tangga Rasulullah” (1940). AR Baswedan wafat pada 16 Maret 1986 setelah beberapa hari sakit dan dirawat di Rumah Sakit Islam Jakarta dan jasadnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta. (HN/disarikan dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar