Minggu, 18 Juli 2010

Djawoto (1906-1992)

Siapa tak kenal buku “Jurnalistik dalam Praktek”. Bagi wartawan pemula atau mahasiswa jurnalistik buku ini seolah menjadi buku panduan terjun di dunia jurnalistik. Buku ini adalah salah satu karya fenomenal Djawoto yang ditulis di tahun1959.
Djawoto, lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur. Pria yang berasal dari keluarga pangreh praja ini mengikuti kursus guru setelah menamatkan sekolah menengahnya. Djawoto kemudian menjadi guru di berbagai sekolah swasta antara lain di Taman Siswa yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara, Pamong Putra dan Tjahaja Kemadjuan, di Kepu, Jakarta.
Sambil menekuni profesinya sebagai guru. Djawoto muda juga sudah aktif di dunia politik. Di usianya yang menginjak 21 tahun, Djawoto sudah dipercaya menjadi sekretaris Partai Sarekat Islam Indonesia (pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto) cabang Makasa. Tak lama kemudian, Djawoto berpindah partai dan bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Makassar yang dipimpin Bung Karno.
Djawoto mulai menulis sejak tahun 1928 atau di usianya sekitar 22 tahun. Ia dikenal sebagai wartawan otodidak. Djawoto belajar sendiri menjadi seorang wartawan dengan membaca serta mengandalkan penguasaan bahasa asing seperti Inggris dan Belanda.
Sebagai wartawan, Djawoto terus menulis hingga masuknya tentara pendudukan Jepang ke Tanah Air yang melarang dibukanya kantor berita. Satu-satunya kantor berita yang diijinkan tetap hidup adalah kantor berita “Domei”. Di kantor berita inilah, selama perang dunia II Djawoto yang bekerjasama dengan Adam Malik meneruskan profesi wartawannya.
Pada tahun 1945 Kantor Berita “Antara” dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.
Karier Djawoto sebagai wartawan terus menanjak. Pada tahun 1950-an ia terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia. Tak hanya PWI, Djawoto juga dipercaya memimpin Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Ia dipilih kembali untuk jabatan tersebut pada kongres PWI di Makassar, 26 Mei 1961.
Sebagai ketua PWI pusat, pada 1962 Djawoto mengemukakan kepada Presiden Soekarno usul penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia Afrika di Bandung. Konferensi ini terselenggara pada 1965, sementara gagasan awalnya telah tercetus sejak Konferensi Asia Afrika pada 1955. Sebelumnya, pada 24 April 1963 ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA).
Sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI, Djawoto bersama H. Agus Salim menyusun untuk pertama kalinya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.
6 Februari 1964, Presiden Soekarno menunjuk Djawoto menjadi Duta Besar RI untuk RRT. Di tahun 1965-1966, sekretariat PWAA dipindahkan dari Jakarta ke Peking, dan Djawoto kembali diangkat sebagai Sekjen.
Di kehidupan sehari-harinya Djawoto dikenal akan kesetiannya kepada garis politik Soekarno. Karena itu, saat kabar meninggalnya Soekarno di tahun1970 membuatnya sedih luar biasa.
Di tahun 1981 Djawoto beserta keluarganya memutuskan untuk pindah bertempat tinggal di negeri Belanda. Djawoto wafat pada tanggal 24 Desember 1992 dalam usia 86 tahun dan dimakamkan di negeri yang jauh dari tanah-air yang dicintainya, dan terpisah jauh dari rakyat dan bangsanya , yang pernah ia ikut memperjuangkan kemerdekaannya, sebagai guru dan kemudian sebagai wartawan dan dutabesar RI. (HN/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar