Sabtu, 10 Juli 2010

Memaknai Persatuan dan Kebhinekaan

“ Merdeka”,inilah jargon milik bangsa Indonesia yang kabarnya Oto Iskandar dinantalah orang pertama yang mengumandangkan yel-yel yang unik ini. “ Merdeka” sungguh sebuah kata yang sarat makna. Makna yang pertama : kita sudah terbebas dari belenggu penjajahan yang berlangsung selama ratusan tahun.
Kedua,lambang kebanggaan karena kemerdekaan kita bahkan bukan hadiah belas kasihan dari penjajah, tetapi anugrah dari Gusti nu Mahasuci sebagai buah dari jerih payah, keuletan,perjuangan, dan pengorbanan dari seluruh elemen bangsa. Makna ketiga, kemerdekaan kita bukan didapat tiba-tiba,tetapi buah dari tahapan tahapan yang penuh perhitungan, sistematis,dan rasional.Dimulai dari kebangkitan Nasional ( National Building) 20 Mei 1908,Sumpah Pemuda (Character Building) 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan (State Building) 17 Agustus 1945.
Makna keempat, dengan kemerdekaan, kita dituntut untuk siap memenuhi amanah dan perintah yang tertegra di dalam mukadimah UUD’45,amanah yang secara gambling juga merupakan peri tah dari para pendiri Negara kita. Wajib hukumnya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab oleh kita semua, sesuai dengan fungsi dan tugas kita masing-masing. Untuk sekedar menyegarkan kembali ingatan kita akan amanah tersebut, saya tulis secara singkat : lindugi bangsamu,sejahteraka bangsamu, cerdaskan bangsamu, pelihara perdamaian dunia.
Ingat,Negara Indonesia yang didirikan oleh para pendirinya,adalah Negara Pancasila,bukan Negara komunis, bukan pula sebuah agama, tetapi negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni negara yang menghormati dan menghargai segala agama.
Pada saat negara kita diploklamirkan,bahanbaku yang ada pada saat itu adalah ratusa bahasa daerah, budaya, adat istiadat, filosofi lokal, berbagai agama,dan kepercayaan,serta berbagai ras. Suka atau tidak suka,setuju atau tidak setuju, itulah faktanya,harus kita terima dengan lapang dada.Dengan bahan baku seperti itu, bagaimana kita megatur jurus pertama,kita perlu menyamakan dulu persepsi kita dalam memaknai arti persatuan. Menurut saya, persatuan mengandung arti bersama-sama, tetapi tidak harus sama. Pluralitas harus kita junjung tinggi. Bila kita analogikan,tidak ada bedanya dengan sebuah taman bunga,yang berisikan beribu macam jenis bunga : mawar,melati, gladiol, anggrek,dahlia, hebras, dan beraneka bunga lainnya. Semuanya punya identitas sendiri, punya keindahan sendiri yang membedakanya dari suku bangsa yang lain. Sunda ada sunda, Jawa adalah jawa,Bali adalah bali,Dayak adalah dayak,dan sebagainya.Itulah kebhinekaan.
Jurus kedua,kita juga perlu menyamakan persepsi dalam memaknai arti kesatuan, ratusan suku bangsa,ratusan budaya,ratusan filosofi lokal, dan sebagainya, tidak ada tawar menawar,tidak ada kompromi. Hanya boleh ada satu filosofi negara yaitu Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.Bila kita berbicara tentang kesatuan maka walaupun ada ratusan panji daerah,tetapi hanya boleh ada satu panji Negara yaitu Merah Putih.Bila kita berbicara tentang kesatuan,walaupun ada ratusan bahasa daerah,tetapi hanya boleh ada atu bahasa Negara, yaitu bahasa Indonesia. Bila kita berbicara tentang kesatuan, walaupun ada jutaan lagu daerah,tetapi hanya boleh ada satu lagu kebangsaan yaitu “Indonesia Raya”. Jurus ketiga, melangkah secara konret untuk mewujudkan persatuan. Persatuan tidak akan terwujud tanpa langkah nyata dari setiap elemen bangsa. Kebhinekaan baru bisa terlihat bila setiap suku bangsa berusaha untuk mewujudkan eksistensinya,baik secara individual maupun secara berkelompok.Misalnya, saya selaku etnis Sunda mempunyai kewajiban untuk memelihara identitas Sunda dalam arti luas filosofinya, seninya, bahasanya,busannya,makanannya,tata kramanya,dan cirri-ciri Sundanya. Saya akan sangat bangga bila orang langsung tahu dari gerak-gerik dan gaya saya bahwa saya orang Sunda.Setiap keluarga Sunda berkewajiban untuk memelihara identitas sunda supaya tidak hilang dati taman bung nusantara. Demikian juga suu bangsa lainya, mereka wajib memelihara identitas masing-masing supaya tidak terjadi ungkapan kalimat yang berbunyi,” hilang budayanya hilang bangsanya”.Khusus di tatar sunda untuk memelihara identitas kesundaan secara berkelompok ada Paguyuban Pasudan,Pasundan Istri, Daya Mahasiswa Sunda, Nonoman Sunda, dan masih banyak yang lainnya,bukan untuk memisahkan diri dari NKRI, tetapi justru untuk memelihara persatuan, kebhinekaan, dan Sunda bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jurus keempat, menghormati dan menghargai keberadaan suku bangsa lain, ras lain, agama lain, termasuk menghargai budayanya, filosofinya, ada istiadatnya,agar terwujud taman bunga nusantara yang indah, yang kita pelihara bersama-sama. Inilah salah satu agenda dari geraka pembagunan dalam era otonomi daerah.
Jurus kelima, mewujudkan kesatuan. Kalau jurus ketiga adalah untuk mewujudkan kebhinekaan, jurus kelima ini adalah untuk mewujudkan ketunggalikaan, nasionalisme berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, tanggungjawab utama ada pada pemerintah pusat, melalui system pendidik nasional. Bila pernah terjadi ada pelajar yang membakar bendera Merah Putih jangan serta merta menyalahkan anak itu, tetapi pasti sesuatu yang salah (Something Wrong) dalam system pendidikan kita. Bila anak usia dini (Golden Age) sudah ditanamkan rasa hormat dan bangga terhadap bendera sendiri, terhadap lagu kebangsaan sendiri, saya yakin hal itu tidak akan tertjadi.Dalam hal ini adala salahnya kita menoleh kepada bangsa lain yang secara sungguh-sungguh menanamkan nation and character building sampai kepada ungkapan ekstrem,” right or wrong is my country”, agar jangan sampai terjadi bendera merah putih yang dikibarkan melalui darah dan nyawa diinjak-injak oleh bangsa kita sendiri.
Jurus keenam, memaknai dan menyambut globalisasi dari sisi kepentingan bangsa kita. Bila selama ini globalisasi banyak diartikan seperti glombang dari luar-dalam negeri kita,mengapa tidak kita balik? Artinya, tidak semata-mata pengaruh dari luar yang masuk kepada kita,tetapi justru hal-hal yang baik dari kita, kita globalnya darti lokal menjadi universal. Kita memiliki filosofi “ silih asih, silih asah, silih asuh”, hade ku omong goreng ku omong”, strategi komunikasi yang jitu warisan dari leluhur kita. Kita punya tarian yang indah dari seluruh nusantara,kita punya angklung,kita punya beragam makanan tradisional, mengapa tidak kita globalkan.Globalisasi kita jadikan sarana untuk memenuhi salah satu amanah dalam pembukaan UUD kita yaitu memelihara perdamian dunia. Singkat kata dengan modal kemerdekaan yang wujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan memerankan diri kita sampai kepada masyarakat yang gemah ripah repeh rapih.
Ny.Hj. Popong Otje Djundjunan
Penulis adalah Tokoh Pembaharuan Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar