Kamis, 22 Juli 2010

Do’a Hati Sang Perawan

Ketika suara adzan subuh membangunkan ku dari lelap tidur semalam, terdengar pula suara akrab dari ibunda di luar kamar keras memanggil agar aku lekas beranjak bangun dari peraduan dan terus bergegas mengambil air wudhu. Sementara, ayah dan kakak laki-lakikupun telah bersiap pula dihadapan kiblat menunggu kehadiran aku dan ibuku untuk turut dalam shalat jama’ah.
Itulah keseharian keluarga kecilku dalam menjalankan salah satu perintah Allah SWT bersama dalam sujud syukur memuji kebesaran-Nya setiap waktu dan munajat memohon curahan rahmat, ridha serta keselamatan dan juga kebahagiaan dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Aku sendiri dibesarkan dalam keluarga yang penuh nuansa islami dengan aktivitas keseharian sebagai seorang seorang santriwati di sebuah Pondok Pesatren ternama dekat tempat tinggalku. Usai jam akhir pelajaran bersama teman-teman sepermainan biasanya aku tidak pernah langsung pergi pulang ke rumah, melainkan melanjutkan belajar sambil bermain di sebuah saung dekat pesawahan tak jauh dari tempat ku menuntut ilmu. Namun, keriangan dan candaan kami tidak pernah lama berlangsung. Sebab, ibuku selalu memanggil di kejauhan agar aku lekas kembali ke rumah dan turut membantunya menyiapkan makan siang untuk bapak dan kakak sulungku yang tengah berladang dan berternak di kebun kami yang tidak terlalu luas.
Menjelang waktu Ashar setiap harinya bapak dan kakakku pulang dari berladang. Karena, dari situlah kami sekeluarga mendapatkan rizki membiayai keperluan hidup termasuk sekolahku yang sebentar lagi akan selesai. Tapi, tidak dengan kakak tertuaku yang sebelumnya sengaja tak menamatkan sekolah karena ingin membantu orang tua menjadi seorang petani. Walaupun, kenyataanya nilai dari hasil kecerdasannya di sekolah selalu baik dalam setiap nilai raport yang didapat. Kini, selama tiga tahun sebagai pelajar tingkat Aliah (setingkat SMA) tinggal menghitung hari, karena waktu-waktu terakhir ini aku tengah menghadapi ujian akhir menuju kelulusan yang aku harapkan tercapai.
Ambang pikiran serta harapan untuk melanjutkan ke bangku kuliah selalu terbayangkan dalam benakku setiap waktu, ingin segera melepas seragam yang telah menjenuhkan hari-hariku dalam penantian. Isian tiap isian soal ujianpun seperti tak berat kupikirkan untuk segera dijawab berlomba dengan waktu yang setiap saat berlalu cepat.
Dirumah Ibu, bapak, dan kakakku semuanya berdo’a agar aku tak tinggal kelas selesai dan lulus dengan sempurna tanpa kecewa di akhir penentuan nilai. Disekolahpun para guru menginginkan hal yang sama, berharap semua santri dan santriwati yang tengah berjuang dalam ujian dapat mencapai nilai kelulusan murni tanpa angka merah di raport dan rendah di ijazah.
Lingkungan pesantren yang begitu luas dengan sejumlah gedung belajar, pondokan serta sebuah masjid besar dan kantin kesayangan disamping halamannya membuat hati dan pikiranku bertambah sedih, dimana sebentar lagi akan meninggalkan semuanya. Namun, tetap kembali dalam kenangan bersama kepergian teman-teman seangkatanku lainnya menuju cita-cita dan harapan masing-masing.
Tak lama berlalu, ketika diumumkan akhirnya, aku termasuk lulusan dengan angka tergolong baik.
Termasuk para sahabat baikku dipesantren, mereka semua bergembira menyambut kelulusan bahkan, ada yang melompat-lompat kegirangan.
Kini, tiba untuk diriku bersiap diri, mempersiapkan segala keperluan demi pilihan utamaku selanjutnya meneruskan ke jenjang kuliah mencapai masadepan sebagai seorang sarjana pertanian seperti apa yang selama ini orang tuaku idam-idamkan. Shalat tahajud beriring Do’a sepanjang malam terus diucapkan khusyu ke khadirat-Nya, mengharap agar dalam menjalani kehidupan selanjutnya tidak salah arah dan tujuan selamat mencapai tujuan.
Ibuku berpesan, agar dalam menempuh apa yang dituju tetap selalu menjaga kesucian diri serta bathin tetap terjaga dengan iman dan taqwa. Terlebih melihat diriku adalah seorang perempuan perawan dan jauh dari orang tua yang diharapkan menjadi salah satu kebanggaan keluarga selain kakakku kelak.
Kakakkupun berpesan agar tetap menjaga ucapan dan perbuatan dimanapun jangan menjadikan diri sebagai korban pergaulan. Tapi jadikan diri sebagai tauladan dalam pergaulan. ketika itu, kupegang semua nasehat mereka, sebab mereka telah menjadi bagian dari hidupku selama ini berada satu atap dalam suka dan duka berurai air mata dan bersukaria bersama.
Aku memutuskan melanjutkan pendidikan bukan karena ikut-ikutan atau keinginan orang tuaku tapi, kenyataan yang membawaku untuk berjuang belajar menggapai cita-cita walau nantinya bapak, ibu, dan kakakku akan berjuang pula sekuat tenaga membiayai segala keperluanku. Namun, semua hal itu tak ingin ku gapai dengan berhati sedih, tetap optimis serta yakin akan perjuangan ini menghasilkan sebuah kebanggaan dan kebahagiaan bersama tanpa kekecewaan.
Kota yang ku tuju, tidak lain mempunyai universitas pertanian terkenal di Jawa Barat dan dapat diunggulkan.Oleh karena itu, aku teruskan untuk mencapainya dengan semua keterbatasanku.
Ladang, kebun dan ternak milik orang tuaku serta kampung halaman saat ini menjadi kenangan sementara untuk ditinggalkan.Semua pasti kembali dengan sebuah kebanggaan dan kebahagiaan
Benny K

Tidak ada komentar:

Posting Komentar