Minggu, 18 Juli 2010

Sam Ratulangi (1890-1949)

Kata-katanya yang tajam, menjadi salah satu kekhasan Sam Ratulangi. Salah satu kalimat filosofis Sam Ratulangi yang terkenal "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Terlahir dengan nama Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890. Setelah menamatkan Hoofden School (sekolah raja) di Tandano, ia meneruskan pelajarannya ke sekolah Teknik (KWS) di jakarta. Pada tahun 1915 ia berhasil memperoleh Ijazah guru ilmu pasti untuk Sekolah Menengah dari Negara Belanda dan 4 tahun kemudian memperoleh gelar doktor Ilmu pasti dan Ilmu alam di swiss. Ia adalah orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar doctor dari Zurich University, Swiss. Di Negeri Belanda ia menjadi ketua Perhimpunan Indonesia dan di Swiss menjadi ketua organisasi pelajar-pelajar Asia.
Setelah kembali dari Eropah, Sam Ratulangi mengajar ilmu pasti di AMS (setingkat SMA) Yogyakarta dan kemudian pindah ke Bandung mendirikan Maskapai Asuransi Indonesia. Selama 3 tahun, 1924 -1927 ia diangkat sebagai Sekretaris Dewan Minahasa Di Manado. Jabatan itu dimanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat dengan membuka daerah baru untuk pertanian, mendirikan yayasan dana belajar dan lain-lain. Atas perjuangannya yang gigih, Pemerintah Belanda menghapuskan kerja paksa di Minahasa.
Sewaktu menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927, Ratulangi mengajukan tuntutan agar Pemerintah belanda menghapuskan segala perbedaan dalam bidang politik, ekonomi dan pendidikan antara orang Belanda denganorang Indonesia. Pada tahun 1932 ia ikut mendirikan Vereniging van Indonesische Academici (Persatuan Kaum sarjana Indonesia). Organisasi ini bertujuan menghimpun para sarjana Indonesia yang akan membimbing rasa kebangsaan kepada rakyatnya.
Dunia jurnalistik mulai digeluti di tahun 1934. Di tahun ini bersama M. Amir (psikolog) dan PF Dahler (Indonesianis peranakan Belanda), Sam menerbitkan mingguan berbahasa Indonesia ”Penindjauan”. Di surat kabar ini, tulisan-tulisan Sam dikenal cukum tajam. Cercaan demi cercaan yang ditulis Sam di surat kabar ini tak urung membuat gerah pemerintahan kolonial Belanda. Untuk membungkamnya, Belanda melancarkan upaya pembungkaman Sam, dengan menuduhnya terlibat skandal keuangan dalam forum Volksraad. Akibatnya, Sam divonis 4 tahun penjara dan dijalaninya di penjara Sukamiskin, Bandung. Namun, saat di bui inilah sejumlah karya lahir dari buah pikir Sam Ratuangi. Salah satunya yang fenomel adalah “Indonesia in den Pasifik” yang mengupas kedudukan strategis Indonesia di tengah lalu lintas wilayah Asia Pasifik.
8 Januari 1938, Sam menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda “Nationale Commentaren”. Media inilah, yang dijadikan Sam sebagai senjata untuk menghantam mesin kolonial Belanda, tentu disamping pidato-pidato tajamnya di berbagai forum Dewan Rakyat. Di tahun 1938 hingga 1942, “Nationale Commentaren” menjadi surat kabar paling terkemuka dan menjadi bacaan utama kaum intelektual bumiputera. Apalagi sejumlah tokoh pergerakan Indonesia menjadi pendukung surat kabar ini. Seperti Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, MH Thamrin, dsb.
Awal Agustus 1945 Ratulangi diangkat jadi anggota Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia. Setelah RI terbentuk, ia diangkat jadi Gubernur Sulawesi. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui, Irian Jaya, setelah PBB memperjuangkan Sulawesi tetap menjadi bagian RI.
Pada tanggal 30 Juni 1949, Sam Ratulangi meninggal dunia di jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh. Jenazahnya kemudian di makamkan kembali di Tondano. (HN/dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar